Author

Author

Sabtu, 22 Agustus 2015

[Japanese Fanfiction] CLEAN & DIRTY ~Oneshoot~

Clean & Dirty
Author             : Marinni Hasan
Main Cast        : Akimoto Takumi, Miyako Watari, Asuka Matsuo, and Nakashima Tadayoshi
Genre              : Slice of life, School, Romance and Comedy
Rating              : PG-15 Teens 15 or older
Note                : Di sarankan saat membacanya sambil mendengarkan lagu f(x) feat D.o EXO-Goodbye Summer. Selamat membaca!
~O~O~O~O~O~
“Haaah” aku menghela nafas panjang sambil memandangi matahari terbenam dari balik jendela kelas. Langit tampak berwarna jingga sekarang. Ku topang dagu di atas sapu yang ku pegang dengan tangan kiri ku. Tangan kanan ku, ku masukkan ke dalam saku celanaku.
“Akimoto-kun, ayo cepat selesaikan tugas menyapumu! Kita tidak akan pulang kalau kelas ini masih kotor” ucap temanku yang sangat bawel itu, Nakashima.
“Haah…iie” ku letakkan sapu ku di salah satu meja kelas dan ku ambil tas ku dari bangku ku.
“Woy, Akimoto-kun! Kau mau kemana, hah?” Nakashima mencegahku sambil membentang sapu yang di pegangnya untuk menghalangiku.
“Pulang” jawab ku sambil menyingkirkan sapu Nakashima yang menghalangiku. Ku ambil sapu tangan dari saku celana ku dan ku bersihkan seragamku dengan sapu tangan tersebut.
“Nanni?! Kau menyapu saja belum. Dan sekarang kau ingin pulang? Oh, no no. Kau harus selesaikan tugasmu” Nakashima menarik lengan ku.
“Kau bisa lanjutkan itu sendiri, Nakashima-kun” ucapku seraya memegang pundaknya sambil menunjukkan ekspresi penuh harap.
“Dan setelah selesai, cucilah tangan mu. Tangan mu sangat kotor” ucapku seraya membersihkan lengan seragamku yang di pegang oleh Nakashima. Nakashima hanya menunjukkan ekspresi bodohnya sambil membelalakan matanya.
            Aku mengabaikannya dan meninggalkannya sendirian di kelas. Aku berjalan melewati koridor sekolah di lantai dua ini sendirian. Sunyi. Semua pasti sudah pulang. Ku pasang headshet ku yang tersambung dengan mini mp3 ku. Ku masukkan tanganku ke dalam saku celana ku dan berjalan ke lantai bawah melewati tangga.
BRAAK
BUK
BUK
BUK
            Seseorang menabrakku dan membuat ku terjatuh dari tangga. Kepala ku terasa sedikit sakit karena mengenai seasutu yang cukup keras. Itu tidak penting. Terpenting adalah sekarang diriku di penuhi sampah-sampah kotor yang berasal dari bak sampah yang menimpa kepalaku. Di tambah seorang gadis menimpa tubuhku. Gadis itu sempat terdiam sejenak untuk menyadari apa yang terjadi.
“Ah…su-sumimasen*” gadis itu menatap ku dengan wajah konyolnya. Aku menatapnya dengan tajam.
“Menyingkirlah!” ucapku sedikit mempertegas kata-kata ku. Gadis itu sontak langsung berdiri dan memunguti sampah yang berhamburan.
“Kau tidak punya mata, yah?” tanya ku sambil membersihkan kotoran dari seragamku. Astaga! Seragamku jadi berbau sangat menyengat. Ku lihat gadis itu sedikit terkejut mendengarku dan dia menatap ku bingung.
“Bukankah aku sudah minta maaf” jawabnya dengan yakin. Kenapa aku merasa jengkel saat melihat ekspresinya itu.
“Dasar sampah!” ucapku dengan ketus. Ku berjalan meninggalkannya.
“Itu sangat kasar tahu! Aku sudah minta maaf. Lagi pula aku tidak sengaja” gadis itu berteriak dari arah belakangku. Ku berbalik dan menatapnya dengan sangat tajam.
“Tidak sengaja? Kau berlari di koridor sambil membawa sampah-sampah itu dan kau bilang itu tidak sengaja?” ucapku sambil menunjuk sampah-sampah yang berserakan itu.
“Sekarang karena kebodohan mu itu, aku jadi berbau sampah. Menjijikan!” ucapku sambil kembali memasang Headshet ku. Dia membelalakkan matanya dan menatapku dengan ketidakpercayaan. Aku mengabaikan gadis menjijikan itu dan terus berjalan pulang.
            Sial! Seluruh badanku berbau sampah. Ditambah seragam putihku menjadi sangat kotor. Menjijikan sekali! Sepertinya hari ini adalah hari kesialan ku. Cih, Baka! Ini semua karena gadis kotor itu. Ekspresinya yang bodoh itu membuatku semakin jengkel.
            Aku mempercepat langkahku menuju halte bus agar aku cepat sampai ke apartemen ku. Aku ingin bergegas membersihkan tubuhku ini. Aku tidak tahan melihat diriku yang kotor dan berbau ini. Sesampai di halte, selang beberapa menit, bus tujuan ku berhenti. Aku langsung masuk ke dalam bus itu dan duduk di kursi paling belakang. Aku sengaja memilih kursi paling belakang agar tidak ada yang menyadari diriku saat ini.
            Sesampai di apartemen, aku langsung menuju kamar mandi. Ku lepas semua pakaian ku dan ku lempar pakaian itu begitu saja di depan kamar mandi. Ku hidupkan shower dan ku berdiri di bawah air yang keluar dari shower itu.
“Haah…akhirnya” ucapku setelah tubuhku di basahi oleh air shower itu.
            Ku ambil sabun cair beserta sponnya. Ku tumpahkan banyak sabun cairnya ke spon dan ku buat berbusa yang melimpah. Ku gosok dengan kuat ke seluruh tubuhku dengan spon busa melimpah itu. Setelah selesai membersihkan tubuhku, ku ambil sampo setelapak tangan ku dan ku pijat ke kepalaku. Kemudian, ku ambil sabun wajah ku, ku tumpahkan setelapak tangan ku dan ku gosok-gosok sampai benar-benar kasat di wajahku. Setelah semua selesai, ku bilas seluruh tubuh ku.
“Humh” aku mencium pergelangan tangan kiriku ketika keluar dari kamar mandi sambil mengerikan rambut ku dengan handuk dengan tangan kananku.
            Ku berjalan menuju ruang tengah untuk menghidupkan televisi. Ya, karena apartemen ini sungguh sunyi karena hanya diriku di dalamnya. Ayah dan Ibu ku bercerai ketika aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Kemudian Ibu, beliau kembali ke kampung halamannya. Hak Asuh diriku berada di tangan Ayahku. Entah kenapa saat sidang Ibu tidak mengusahakan Hak Asuh diriku untuknya. Mungkin dia tidak mau repot mengurusku.
            Sekarang sudah dua tahun lamanya aku tidak melihat Ibu ku. Lagi pula dia tidak mencari atapun mau repot-repot menanyakan kabarku. Sungguh, setelah perceraian itu, beliau tidak pernah muncul di hadapanku sama sekali. Dan selang beberapa bulan setelah perceraiannya, dengan bangganya Ayah menikah lagi dengan perempuan yang jauh lebih muda 10 tahun dari umur Ayah. Pasti perempuan jalang itulah yang mecoba menjadi orang ketiga di hubungan Ayah dan Ibu. Sejak saat itu juga aku angkat kaki dari rumah dan memilih tinggal di apartemen ini sendirian. Seakan-akan hidupku ini tidak ada arti bagi orang tua ku. Walaupun Ayah mengirimkan uang yang banyak untuk ku setiap bulannya, tapi perhatian sia-sianya itu hanya seperti memanjakan ku semata. Sekarang, di apartemen ini, aku bisa hidup aman, nyaman dan damai walaupun hanya diriku seorang.
            Sudah waktunya makan malam, aku berjalan menuju dapur untuk memasak makan malam. Ku buka pintu kulkas ku dan…
“Kosong?! Astaga! Aku lupa berbelanja ketika pulang tadi” aku menepuk keningku. Aku terlalu fokus dengan masalah di sekolah tadi, jadi lupa kalau kulkas ku sudah kosong. Sekarang juga sudah jam setengah delapan malam. Aku beralih ke lemari meja memasak ku dan ku menemukan mie ramen instan di sana.
“Untuk malam ini saja aku makan ini” ujar ku seraya menghidupkan kompor gas.
            Setelah selesai, ku bawa mie ramen ku ke depan televisi. Ku santap mie ramen ku sambil menonton sebuah acara berita di televisi. Setelah selesai, ku matikan televisi dan ku cuci mangkok ku setelah makan. Kemudian, ku berjalan ke kamar untuk mengerjakan tugas sekolah ku.
            Sekarang pukul 10.45 Pm. Mata ku mulai berat. Aku pun mengakhiri belajar ku dan berbaring ke tempat tidur. Ku letakkan pergelangan tanganku ke keningku. Tiba-tiba wajah gadis bodoh itu melintas di pikiran ku. Sialan! Kenapa aku malah kepikiran gadis bodoh itu. Ku tarik selimut ku dan ku pejamkan mataku.
~O~O~O~O~O~
            Setelah mandi, aku bersiap-siap ke Supermarket untuk berbelanja bahan makanan. Karena ini musim panas, aku hanya memakai kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Tidak lupa membawa dompet ku dan aku pun berangkat ke Supermarket.
            Matahari mulai memancarkan cahayanya ke bumi. Tapi, jalanan Tokyo masih sepi. Ya, karena sekarang baru saja jam enam pagi. Aku yang rajin ini rela bangun pagi-pagi untuk berbelanja bahan makanan bagaiman seorang Ibu Rumah Tangga. Inilah konsikuensi hidup sendiri. Sesampai di Supermarket, aku langsung mengambil keranjang belanja dan berjalan menuju rak bahan makanan.
“Dimana ikan dan dagingnya?” ucapku yang melihat rak ikan dan dagingnya kosong.
“Sumimasen, ikan dan dagingnya habis atau kosong?” Tanya ku ke salah satu karyawan Supermarket.
“Ah, gomen. Ikan dan daging akan datang jam delapan nanti” jawab karyawan tersebut. Aku terdiam sejenak dan berpikir kemana aku bisa mendapatkan ikan dan daging selain di Supermarket ini.
“Kenapa tidak ke pasar saja? Di sana lebih banyak dan harganya juga murah” saran pegawai itu.
            Aku sedikit terkejut saat dia menyebutkan “Pasar”. Itu adalah tempat kedua yang paling ku hindari selain Pembuangan Sampah. Di pasar itu sesak, kotor, bau dan berisik. Aku tidak suka tempat itu. Aku juga tidak pernah ke yang namanya “Pasar” itu.
“Supermarket di dekat sini apa tidak ada lagi?” ujarku dengan ekpresi harap.
“Iie, ku rasa di dearah ini, cuman ini Supermarket. Pasarnya kan hanya berjarak 3 blok dari sini. Jalan kaki juga kau akan sampai” jawabnya sambil pergi membawa kardus ke rak lainnya. Aku hanya mengelus keningku saat mendengarkan jawabannya.
            Ku lihat jam tangan ku dan kulihat sekarang pukul 06.15 Am. Waktu terus berjalan. Kalau aku tidak berbelanja sekarang aku tidak akan dapat membuat sarapan pagi ini. Tidak ada pilihan lain. Aku harus ke pasar. Aku pun beranjak dari Supermarket itu.
            Sesampainya aku berjalan dari Supermarket, aku sudah berdiri di depan gang pasar tradisional itu. Kulihat suasana pasar yang riuh itu semakin membuat ku tidak ingin masuk ke sana. Ku lihat jalannya yang basah dan kotor itu membuat ku tidak bisa bergerak dari posisi ku. Bau amis dan menyengat mulai menusuk hidungku.
“Iie! Aku harus ke sana! Aku beli beberapa bahan makanan dan segera pulang setelah itu” ujarku yang mempercepat langkah ku masuk ke area pasar itu. Aku harus bertahan untuk beberapa menit saja untuk berbelanja  di sana.
SRRT
“Hah?!” seseorang telah menyiram celanaku. Bau amis mulai tercium dari celanaku.
“AH! Sumimasen” ucap seroang gadis tengah mencoba mengerikan celana ku dengan handuk ke-ri-ngat-nya. Mata ku membelalak melihat yang tengah dia lakukan padaku.
“Omae!” ucapku bersamaan dengannya. Gadis bodoh di sekolah! Dia menyiramku dengan air bekas cumi-cumi yang bau dan kotor dari ember yang dia pegang.
“K-kau lagi!” aku geram melihatnya.
“A-a-ano, aku sungguh tidak sengaja. Aku tidak melihat mu yang lew-“ ku potong penjelasannya.
“Diam!” aku mengencangkan sedikit suaraku, “Aku muak mendengar penjelasanmu. Apakah dua kalinya kau berbuat seperti ini, semua itu tidak di sengaja, hah?!” aku membentaknya. Dia terdiam dan terlihat bingung menatap ku. Aku membalasnya dengan menatapnya dengan lekat. Aku membalikkan badanku dan beranjak dari sana.
“Aku akan bertanggung jawab. Aku akan mencuci celana mu” ujarnya yang menarik lenganku.
“Chigau!” aku berteriak dan menyingkirkan tangannya dari lenganku. Dia terjatuh dan terduduk di tanah. Aku hanya menatapnya dengan ekspresi datar. Orang-orang yang berada di sekitar kami mulai menatap kami.
“Daijoubu, Miyako-chan?” ucap seorang bibi yang mencoba membantunya. Aku hanya mengabaikannya dan segera beranjak pergi dari posisiku.
            Sesampai di rumah, ku keluarkan belanjaan ku. Aku mendapatkan bahan makanan di toko dekat gang pasar saat itu. Syukurnya apa yang ingin ku beli ada di situ. Sebelum memasak, aku membersihkan diriku terlebih dulu ke kamar mandi.
“Sial! Kenapa setiap bertemu dengannya, aku selalu saja dibuatnya seperti ini?” aku menampar diding kamar mandi. Aku benar-benar tidak menyukainya. Bahkan aku sekarang membencinya. Andai aku punya sihir, ingin ku musnahkan gadis bodoh itu.
“Lihat saja nanti!” ucapku seraya menatap wajahku ke cermin di kamar mandi.
~O~O~O~O~O~
1 tahun kemudian…
            Hari ini adalah tahun ajaran baru. Sekarang aku naik ke kelas 3, tepatnya aku akan masuk ke kelas 3-2. Ku ganti sepatu ku ke loker dan ku berjalan menuju lantai tiga dimana kelas ku berada. Ku dapati dua pintu kelas ku terbuka dan suara bising dari sana mulai terdengar. Aku masuk melewati pintu belakang.
“Yo, Ohayou, Akimoto-kun” sapa seseorang yang tak asing, Nakshima. Dia duduk di bangku di urutan keempat di samping jendela.
“Emh, Ohayou” jawab ku santai sambil berjalan menuju kursi di depan Nakashima.
“Yaa, aku tidak menyangka kita sekelas lagi, Akimoto-kun” ujar Nakashima sambil menepuk-nepuk pundak ku.
“Tanganmu sudah kau cuci, kan?” ucapku yang meraih tangannya dan memeriksanya. Nakashima hanya terdiam sambil menampakkan wajah oonnya.
“Kau tidak pernah berubah ya, dari sifat sok bersihmu itu” ujar Nakashima yang menyingkarkan tanganku yang memegangnya.
“Setidaknya aku tidak dekil seperti mu” sahutku seraya meliriknya yang duduk di belakangku.
“Jahatnya” ucapnya terdengar miris. Aku hanya tersenyum kecil membayangkan ekspresinya saat ini.
            Aku raih mini mp3 ku dan ku pasangkan Headshet yang sudah tersambung itu. Ku play lagu One Ok Rock yang berjudul Clock Strikes. Ku pangku wajahku dengan telapak tangan kiri ku sambil menunggu seorang sensei masuk ke kelas ini untuk memberikan pengumuman. Sekitar satu jam lagi, kami akan mengadakan upacara penyambutan tahun ajaran baru di Aula sekolah.
“Ohayou, minna-san” teriak seorang gadis dengan nyaringnya. Aku yang sedang mendengarkan lagu pun bisa mendengar suara cekingnya itu. Aku tidak menggubrisnya. Tiba-tiba seorang gadis dengan percaya dirinya menyapaku.
“Ohay- Omae?!” dia sangat histeris sangat menyadari diri ku. Aku terkejut yang menyapa adalah gadis bodoh yang selalu membuat ku sial di dekatnya.
“Ki-kita sekelas?” tanyanya seraya duduk di kursi tepat di sampingku. Aku hanya menatapnya dengan ekspresi datar dan berbalik menatap kearah luar jendela dengan menopang wajahku dengan telapak tangan kananku.
‘Sial! Aku sekelas dengan gadis ini. Mana lagi dia duduk di sampingku’ ucapku dalam hati. Aku hanya tidak perlu memperdulikkannya dan menganggapnya tidak ada. Good, seperti itu.
            Aku mendengar sedikit percakapan Nakashima dengan gadis bodoh itu. Dia menyebutkan namanya Miyako Watari dari kelas 2-3. Kemudian, ada seorang gadis lain lagi yang ikut mengobrol dengan mereka. Seketika di sekitar ku menjadi bising oleh tiga makluk itu. Sepertinya tahun terakhir ku di sekolah ini akan menjadi suram sekarang. Aku hanya menutup wajahku dengan telapak tanganku saat membayangkan apa yang akan terjadi selama satu tahun terakhir di kelas ini.
“Ohayou, minna-san” suara seseorang dengan suara serak masuk ke kelas kami. Ya, itu Sensei kelas kami. Aku melepaskan Headshet ku dan menyimpannya ke dalam tas.
“Baiklah, sekitar lima belas menit lagi upacara pembukaan tahun ajaran baru akan di mulai. Berbarislah sesuai urutan kelas saat di Aula. Baik, itu saja yang ingin saya sampaikan. Setelah ini, kalian langsung saja ke Aula dengan rapi” ucap Sensei itu.
“Hai!” jawab kami serentak. Setelah Sensei keluar, kami pun menyusulnya ke Aula.
            Upacara berjalan dengan hikmat seperti biasa. Di tahun ini lebih banyak dari tahu kemarin murid baru yang masuk ke sekolah ini. Terlihat Aula cukup penuh sampai ke area belakang. Upacara berlangsung sekitar satu jam dan itu membuat ku bosan. Sambutan-sambutan yang ku rasa tidak penting itu terlalu banyak yang menyampaikannya. Ku rasa kepala sekolah saja untuk menyampaikannya itu cukup. Setelah selesai kami di bubarkan dan pergi menuju kelas.
“Baiklah. Karena ini tahun ajaran baru, kita akan memilih Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris beserta Bendahara kelas. Jadi, kita membutuhkan empat orang dari murid kelas ini. Emh…siapa yang bersedia?” ujar Sensei yang sambil menatap kami satu persatu. Aku hanya mengabaikannya dan membuang pandangan ku ke luar jendela. Susana hening untuk beberapa menit. Sepertinya tidak ada yang bersedia menjadi relawan di kelas ini.
“Watashi!” suara melengking tiba-tiba bergema di kelas saat hening. Aku sontak menatap Watari yang duduk di bangku sebelah ku. Dia mengangkat tangannya dan menunjukkan ekspresi bangga atas dirinya.
“Cih!” aku kembali menatap keluar jendela tanpa memperdulikannya.
“Ada lagi?” ucap Sensei yang merasa hanya satu yang memang bersedia, “Baiklah. Deal Watari-san menjadi Ketua Kelas?” Tanya Sensei lagi untuk memastikan. Semua mulai berbisik.
“Bagaimana? Deal?” ucap Sensei lagi. Aku melirik sedikit kearah Sensei.
“Oke, Deal” ujarnya sambil mengetuk sekali mejanya.
“Sekarang kita memilih wakilnya. Siapa yang bersedia?” tawar Sensei lagi sambil mengamati murid-muridnya. Aku hanya diam dan mengamati orang-orang kelas sedang berbisik itu.
“Akimoto-kun, Sensei!” Nakashima tiba-tiba mengangkat tangan kanan ku dari belakang.
“Hah?!” aku terkejut dan panik. Aku menatap tajam ke Nakshima yang duduk di belakang ku. Dia hanya terkekeh.
“Takumi-san? Kau mau menajdi wakil?” Tanya Sensei memastikan.
“Ah..i-“ ucapanku terpotong oleh Nakashima.
“Coba saja dulu! Nanti aku akan mencalonkan diri menjadi Bendaharanya” dengan wajah tanpa dosanya dia mengatakan itu sambil mengacungkan jempol kepadaku.
“Kau bodoh, ya?” aku menatapnya datar dan menyingkirkan tangan Nakashima yang masih memegang tanganku.
“Bagaimana, Takumi-san?” Sensei bertanya kembali.
“Ah..an- ano…” aku mulai bingung menjawab pertanya Sensei. Aku menatap ke orang-orang kelas dan mendapati ekspresi yang penuh harap dari mereka semua. Ekspresi mereka menyatakan seakan-akan meminta pada ku untuk mengiyakan pertanyaan Sensei dan segera mengakhiri pemilihan kandidat kelas ini. Apalagi ekspresi Watari yang bodoh itu. Dia tersenyum kepadaku seakan-akan dia tidak pernah melakukan hal keji kepadaku. Sial! Aku terpojok kali ini.
“Hai, Sensei” jawab ku sambil membuang pandangan ku keluar jendela. Ya, aku TIDAK ikhlas. Nakashima terkekeh bahagia di belakang karena aku menyetujui saran bodohnya.
“Baiklah. Ketua Kelas adalah Miyako Watari dan Wakilnya adalah Akimoto Takumi. Sekarang Sekretaris dan Bendaharanya. Siapa yang bersedia?” ucap Sensei.
“Watashi!” jawab Nakashima bersamaan dengan seorang gadis yang duduk di depan Watari. Ya, itu pasti teman Watari.
“Siapa yang ingin menjadi Sekretaris?” Tanya Sensei sambil melihat dua calon kandidat itu.
“Watashi” ucap gadis yag duduk di depan Watari itu. Seketika Watari terkekeh seakan-akan dirinya tidak sendiri untuk mengurus kelas ini.
“Baiklah. Asuka Matsuo adalah Sekretarisnya dan Nakashima Tadayoshi adalah Bendaharanya. Deal!” Sensei mengetuk mejanya sekaligus mengakhiri pemilihan organisasi kelas ini.
“Bulan Agustus nanti kita akan mengadakan festival sekolah tahunan yang ke 52. Jadi, diskusikan apa yang ingin kalian adakan untuk kelas ini. Dan untuk ketua kelas, besok tolong serahkan jadwal piket kelas ke meja saya di ruang guru. Untuk hari ini, kalian sebagai organisasi kelas baru yang akan membersihkan kelas ini sehabis jam sekolah” ucap Sensei sambil merapikan bukunya.
“Hai! Wakata!” jawab Watari mantap.
‘Sial! Lengkap sudah nasib buruk ku di tahun ini. Bukannya di tahun terkahir di sekolah ini aku bisa merasa nyaman dan tenang. Malah dapat bencana bertubi-tubi seperti ini’ ucapku dalam hati sambil menyandarkan wajahku ke meja.
“Berdiri!” ucap Watari. Kami semua pun berdiri dan menundukkan badan untuk memberi hormat kepada Sensei.
“Ganbatte, Miyako-chan!” Matsuo san menyemangti si gadis tukang ikan itu. Aku hanya terduduk lemas dan membayangkan apa yang akan terjadi sampai kelulusan ku nanti. Sungguh suram.
“He! Akimoto-kun. Ganbattene” Nakashima menggoyang-goyangkan tubuhku dari belakang.
“Diam, kau Nakashima!” ucapku sambil menyandarkan wajahku meja kembali.
“Hahaha, dia memang seperti ini. Tenang saja!” ucap Nakshima dengan percaya diri. Aku mendengar dua suara gadis terkekeh setelah mendengar pernyataan Nakshima.
~O~O~O~O~O~
            Setelah jam sekolah berakhir, aku, Nakashima, Matsuo dan gadis ikan, Watari itu membersihkan kelas. Sungguh kesialan ku datang bertubi-tubi sejak gadis bodoh ikan itu menabrak ku saat di tangga. Di tambah aku tertumpah sampah yang di bawanya. Sejak saat itu, hanya ada rasa kesal dan jengkel melihat dirinya yang menatap ku tanpa dosa sedikit pun. Seakan-akan yang terjadi kemarin itu hanya angin lewat semata.
“Et-etto, Takumi-kun, Gomenasai untuk yang terjadi kemarin” Bravo! Dia seperti baru saja membaca pikiranku. Dia menundukkan Sembilan puluh derajat badannya kepadaku.
“Aku sungguh menyesal karena sikap cerobohku” ucapnya dengan nada menyesal dan ekspresi yang sedikit membuatku kasihan.
“Emh…” jawabku yang masih diam duduk di atas meja sambil memegang sapu yang dari tadi hanya ku pegang. Gadis itu seketika terkekeh melihat ku.
“Woy, Akimoto-kun. Kau dari tadi diam duduk di sana tidak mengerjakan apa-apa. Cepat selesaikan dan kita bisa cepat pulang” Nakashima mulai bawel. Aku beranjak dari duduk ku dan mengambil tas ku.
“Ini! Ku serahkan kepadamu!” ujarku menyerahkan sapu kepada Nakshima. Sontak Nakashima membelalakkan matanya.
“Jaa nee” aku melambaikan tangan kepada Nakashima dan berjalan keluar kelas.
“Kita belum menyelesaikan ini, Takumi-kun” ucap Matsuo. Aku pun berhenti tepat di depan pintu kelas dan berbalik melihatnya.
“Ini bukan tugas ku. Tapi tugas, Nakashima-kun. Karena dia yang mencalonkanku. Jadi, dia yang akan melakukanya untuk ku” ujarku sambil tersenyum licik kepada Nakashima yang menganga lebar tidak percaya dengan penjelasan ku. Aku pun terkekeh kecil meninggalkan mereka begitu saja.
            Sesampai di apartemen, aku bergegas ingin membersihkan tubuhku yang di penuhi debu saat di kelas tadi. Aku meletakkan tas di atas meja belajar ku dan ku lepaskan seluruh pakaianku. Aku langsung menuju kamar mandi dan mengguyurkan tubuhku dengan air lewat shower. Setelah selesai mandi, ku buat kopi susu hangat dan ku minum di balkon apartemen ku.
            Angin sore di Tokyo, di musim panas ini, lumayan sejuk. Melihat matahari terbenam sambil menikmati hangatnya kopi susu, sedikit merelakskan pikiranku sejenak. Tiba-tiba suasana sepi menyelimuti ku. Ya, tempat ini hampa. Sejak kejadian 3 tahun lalu, aku bahkan tidak sedikit pun merasa sedih. Lebih tepatnya aku tidak tahu cara merespon sesuatu yang telah terjadi waktu itu dan saat ini. Kejadian yang seharusnya aku merasa sedih dan kecewa, malah membuat ku semakin mengerti bahwa orang dewasa itu merepotkan. Mereka terlalu rumit untuk ku mengerti.
            Aku menghilangkan pikiran yang tidak penting itu dan meminum kopi susu ku sebelum berubah menjadi dingin. Biar semuanya seperti ini untuk saat ini. Karena aku mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan ku saat ini. Anggap saja semua memang sudah takdir ku.
~O~O~O~O~O~
            Aku membeli tiga bungkus roti dan dua kaleng susu soda untuk makanan jam istirahat ku saat ini. Aku membelinya di kantin bersama Nakashima. Kami membawanya ke kelas untuk di makan bersama. Sesampai di kelas aku duduk ke bangku ku. Nakashima menarik bangkunya ke meja ku untuk ikut makan bersama ku.
“Waah! Sepertinya bentomu enak, Miyako-chan!” seru Matsuo yang melihat isi bento Watari. Aku manatap dua gadis yang tengah berseri-seri itu.
“Boleh aku mencicipinya?” ucap Matsuo seraya ingin menyumpit isi bento Watari.
“Hahaha, boleh, boleh. Silahkan!” jawab Watari dengan ekspresi luar biasanya. Watari menggaruk-garuk kepalanya. Kemudian menyubit bento dengan tangannya. Astaga! Jorok sekali gadis ini. Tangan sehabis menggaruk kepala, dia gunakan untuk mengambil makanan.
“Waaah bentonya sepertinya enak! Apa aku boleh mencicipinya juga?” ucap Nakashima sambil berbalik kearah belakangnya dan melihat dua gadis yang tengah asik itu. Nakashima langsung menyambar sumpit milik Matsuo dan menyumpit telur gulung dari bento Watari.
“Loaak!” aku mulai mual-mual melihat adegan mengerikan mereka. Aku tidak bisa bayangkan isi perut Nakashima yang telah menyantap bento itu. Mungkin kutu-kutu akan bersarang di ususnya. Seketika, Nakashima, Matsuo dan Watari menatap kearah ku dengan heran. Aku langsung membuang pandangan ku kearah jendela.
“Kau mau juga, Takumi-kun?” aku melirik sedikit ke sampingku. Ku tatap wajah bloon gadis ikan yang sedang menawari bentonya kepadaku. Susunan bento itu bagus dan rapi, tapi kandungan gizinya sudah tercemar akibat kutu-kutu dari rambutnya.
“Hah…iie. Makan saja sana” jawabku sedikit sinis kepadanya.
“Wakata!” jawabnya mantap. Ku lihat lagi gadis itu dan dia tengah menyantap dengan lahap bentonya. Seketika, perutku terasa sakit dan panas. Aku benar-benar tidak nafsu lagi memakan roti-roti dan susu soda ku setelah apa yang aku lihat tadi.
“Woy!” aku menendang kursi Nakashima, “Habiskan saja makanan ku ini” ujarku seraya menyodorkan semua makanan yang ku beli di kantin.
“Waah?! Beneran nih, Akimoto-kun?” Nakashima terlihat girang sekali. Aku mengangguk sekali.
“Oh iya, sehabis jam pelajaran terakhir, kita rapat untuk mempersiapkan festival musim panas di bulan Agustus nanti. Nanti jangan ada yang pulang dulu, ya?” ujar Watari. Aku hanya menyimaknya begitu saja. Nakashima dan Matsuo mengangguk mantap.
            Aku mengambil mini mp3 ku dan pasang Headshet ku. Ku play lagu One Ok Rock yang berjudul the Beginning sambil menopang wajah ku dengan tanganku. Beberapa menit kemudian, seorang Sensei masuk ke kelas. Aku pun melepaskan Headshet ku dan meletakkannya kembali ke dalam tas sekaligus mengambil buku pelajaran ku.
            Pelajaran berlangsung dengan baik seperti biasa. Sesekali aku melirik Watari yang terus memainkan pulpennya. Tidak lama, dia menggigit-gigit pulpennya. Setelah bosan, dia menggoyang-goyangkan kakinya. Gadis ini sepertinya tidak pernah bisa diam. Ada saja yag dia lakukan. Dasar!
            Jam pelajaran terakhir pun berakhir. Langit tampak berwana kuning dan kami masih berada di kelas ini. Watari sedang berdiskusi kecil bersama Matsuo. Tidak lama, Watari maju ke depan kelas dan berdiri di balik meja guru. Dia akan memulai rapat.
“Konnichiwa, minna-san. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk rapat sore hari ini. Kita langsung saja akan melakukan voting festival yang cocok untuk kelas kita. Kita akan mencantumkan beberapa pilihan dari ide-ide yang di sarankan” ujar Watari seraya menuliskan sesuatu di papan tulis dengan kapur tulis.
“Lolita Ghotic Caffe!” seru suara seorang gadis entah siapa itu. Watari mulai menulis di papan tulis.
“Ramalan!” teriak seorang gadis lagi.
“Kalau Lolita Ghotic Caffe, kami para laki-laki melakukan apa?” seru seorang laki-laki yang sedikit tidak setuju dengan ide itu.
“Iya, betul itu!” beberapa laki-laki berseru juga. Aku pun mengangguk setuju.
“Tenang dulu. Kita cantumkan saja dulu. Nanti baru kita voting bersama” Watari menenangkan suasana. Emh…ya lumayanlah.
            Setelah mencantumkan beberapa pilihan untuk festival, Watari mulai membuat kolom di papan tulis untuk voting. Voting di mulai dari Lolita Ghotic Caffe sampai seterusnya. Dan aku, aku tidak memilih apa pun. Karena aku tidak berminat dengan festival apa pun itu. Itu semua merepotkan.
“Baiklah. Voting terbanyak adalah…” mata ku melirik ke papan tulis ketika Watari mulai mengumumkan hasil voting, “Japanese Traditional Caffe!” seru Watari dengan girang.
“Hah?!” aku membelalakkan mata saat Watari menyebutkan hasil voting.
“Wah! Bagaimana itu konsepnya?” seru Nakashima yang begitu girangnya dari belakang.
“Konsepnya, kita akan dekorasi kelas ini dengan konsep suasana Tradisional Jepang. Yang perempuan nanti akan menggunakan Yukata dan laki-lakinya menggunakan Kuromantsuki” ucap Watari sambil menepuk sekali kedua telapak tangannya. Aku berpikir keras tentang konsep yang gadis bodoh itu jelaskan.
“Lalu untuk makanan dan minumannya, kita menyediakan apa?” ucap salah seorang gadis.
“Tentunya makanan Tradisional Jepang. Tapi, hanya cemilan tradisional saja. Nanti aku akan membagi beberapa kelompok untuk berbagi tugas dalam membeli properti, atribut, bahan makanan serta perlengkapan lainnya. Untuk bahan makanan dan membuatnya, biar aku, Takumi-kun, Tadayoshi-kun dan Asuka-chan” ucap Watari sambil menatap ku. Aku hanya mengerutkan kening jengkel dengan sikapnya. Lagi-lagi aku mendapatkan pekerjaan yang tidak penting dari gadis bodoh itu. Dengan percaya dirinya dia menyebutkan namaku untuk tugas itu. Seharusnya dia bertanya dulu, mau atau tidak kepadaku.
            Selesai membagi kelompok beserta tugasnya, rapat pun di bubarkan. Aku, Watari, Nakashima dan Matsuo masih bertahan. Karena gadis bodoh itu ingin menjelaskan rincian yang harus di beli untuk bahan makanannya. Aku masih duduk diam di bangku ku sambil menopang wajah ku dengan telapak tanganku. Watari masih berdiri di depan kelas, sedangkan Matsuo dan Nakashima masih duduk di bangku mereka masing-masing.
“Aku dan Takumi-kun yang akan berbelanja  untuk bahan makanannya. Kalian berdua yang akan memasaknya, bagaimana?” Watari menunjuk Nakashima dan Matsuo. Aku sontak menatapnya tajam saat menyebutkan tugas kami.
“Nanni?! Kita berdua yang berbelanjan?” Tanya ku menatapnya serius.
“Hah, nee!” Watari mengangguk mantap. Dia menunjukkan wajah penuh keyakinanya itu.
“Kalau, aku sih bisa saja. Matsuo-san bagaimana?” Nakashima menyetujui tugas yang diberikan gadis bodoh itu.
“Boleh. Nanti kita masak di rumah ku saja. Okaa-san pasti mau membantu kita” saran Matsuo kepada Nakashima. Dasar pasangan aneh! Mereka menyetujuinya begitu saja. Aku menutup wajah ku dengan telapak tangan ku untuk menjernihkan pikiranku. Sepertinya kepala ku mulai terkena virus dari gadis bodoh itu.
“Apa tidak ada tugas lain selain berbelanja bahan makanan?” Tanya ku menatap jengkel kearah Watari.
“Emh, iie. Karena kalau kita berbelanja di pasar, aku bisa negokan harga bahannya dengan penjual di sana. Karena aku banyak kenalan dengan orang-orang yang berjualan di pasar” jelas Watari sambil tersenyum lebar kearah ku.
“Nan-nanni? Ke pasar?” aku berdiri sambil memukul meja belajar ku. Sontak semua terkejut dan menatap kearah ku.
“Hahaha, Akimoto-kun kan gak bisa yang namanya ke pasar” Nakashima tertawa dengan bangga. Aku menatap tajam kearahnya. Nakashima langsung menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
“Hemh? Nannde?” Matsuo bertanya dan menatap ku seolah-olah aku orang yang aneh.
“Bukan urusanmu” aku duduk kembali ke kursi ku, “Intinya aku tidak mau ke PASAR!” aku menegaskan kata PASAR untuk mengacanmnya.
“Lalu kau ingin berbelanja dimana? Di toko? Di Supermarket? Di Mall? Itu mahal” ucap Watari.
“Intinya ya jangan ke pasar! Aku tidak suka ke sana. Dan kau lupa kejadian apa yang terakhir kau buat, hah?” aku mengungkit masalah yang pernah terjadi itu. Aku mulai terserang penyakit “MUAK”.
“E-ee….ano. Ta-tapi, aku mencoba mengatur uang dari Sensei agar cukup untuk membeli semua yang kita butuhkan. Kau tahukan masih banyak yang harus di beli?” jelas Watari. Benar juga kata gadis bodoh itu. Hah…memang tidak ada jalan lain lagi sepertinya. Kali ini aku memang terjatuh ke perangkap gadis bodoh ini.
“Hidupmu akan lebih berwarna sekarang, Akimoto-kun!” Nakashima berbisik ke telingaku. Aku langsung beranjak dari tempat duduk dan meraih tas ku.
“Sudah selesai, kan? Aku pulang!” ucapku dengan nada dingin.
“W-woy! Kita akan ke pasar setelah mendekorasi kelas sehari sebelum festival, oke?” Watari berteriak saat aku berjalan keluar kelas. Aku tidak meresponnya. Aku memasang Headshet ku dan ku play lagu dari mini mp3 ku. Dasar cerewet!
~O~O~O~O~O~
            Tibalah hari dimana esoknya adalah festival. Hari ini semua kelas akan di sibukkan dengan persiapan festival. Kelas kami hari ini mulai mendekorasi kelas. Berbagai properti sudah di siapkan tinggal di buat dan di tata. Watari tampak sibuk menginstruksikan pekerjaan kepada murid-murid lainnya. Aku hanya berdiri mendengarkan lagu dengan mini mp3 ku di samping jendela.
“Woy! Kenapa kau hanya berdiri saja, hah? Bantulah yang lain, Akimoto-kun” Nakashima menyenggolku dengan sikutnya.
“Iie!” jawab ku tanpa menatapnya.
“Ah, ittai!” ujar seorang gadis yang sedang membuat pot untuk tanaman bambu. Aku melepaskan Headshet ku dan menghampiri gadis itu.
“Biar aku yang melakukannya” ucapku sambil mengambil palu dari tangannya. Semua mata memandang ku heran saat itu.
“Nannde?” Tanya ku. Semua hening dan seketika kembali ke pekerjaan masing-masing. Seketika Watari tersenyum sumringah kepadaku. Aku hanya mengabaikannya dan melanjutkan pekerjaan ku.
            Kalau bukan dia seorang gadis, aku tidak akan mau menolongnya. Karena aku bukan laki-laki yang lembek membiarkan seorang gadis terluka untuk mengerjakannya. Walaupun ini merepotkan dan melelahkan. Aku menyelesaikan beberapa pot dan meletakkan bambu palsu itu ke dalam potnya.
“Hah…sudah selesai” ucapku sambil menepuk-nepuk kedua telapak tanganku untuk membersihkan debu di telapak tanganku.
“Waah! Sudah berani kotor, yah?” ucap Nakashima menyinggung ku.
“Iie” aku tersenyum sambil memegang kedua pipi Nakashima. Nakashima sontak terkejut dan merasa aneh.
“Takumi-kun, ikkho, kita berangkat ke pasar. Sudah jam tiga” ucap Watari seraya melihat jam dinding kelas.
“Emh” aku mengangguk sekali.
“Woy, Akimoto-kun! O-omae!” Nakashima menyadari pipinya yang kotor karena tanganku. Aku hanya tersenyum kecil melihat kebodohannya. Aku menyambar tisu basah milik salah seorang gadis di kelas dan membersihkan tanganku.
~O~O~O~O~O~
            Aku dan Watari sampai di depan gang pasar yang dimaksud. Aku hanya berdiri di belakangnya sambil memasukkan kedua tangan ku ke saku celana. Watari sedang asik mencek catatan belanjanya. Aku mulai gerah menunggunya. Matahari lumayan membuat suasana menjadi panas di area pasar ini. Melelahkan!
“Yap, ikkho, kita ke dalam!” ajak Watari dengan semangat. Aku hanya mengikutinya dari belakang dan menutup hidungku dengan telapak tanganku.
“Konnichiwa, Miyako-chan!” sapa seorang bibi penjual sayur padanya. Bibi yang pernah menolongnya waktu jatuh karena aku menyingkarkan tangan Watari.
“Ah, Konnichiwa mo, Oba-chan!” Watari menghampiri bibi itu. Aku hanya menundukkan sedikit kepala ku untuk memberi hormat kepada bibi itu.
“Tumben sore-sore ke pasar. Ada apa?” tanya bibi itu seraya menata sayur-sayurnya.
“Ah, aku ingin membeli beberapa bahan untuk membuat cemilan tradisional untuk festival di sekolah” ucap Watari seraya membantu bibi itu mengangkat kardus.
“Oh, ke toko bahan kue saja Di tokonya Kaname Oji-san. Di sana lengkap” saran bibi itu.
“Ah, benar juga. Ikkho, Takumi-kun! Arigatou, Oba-chan” ucap Watari seraya melambaikan tangan ke bibi  itu. Aku hanya mengamatinya dari belakang.
            Kami pun bergegas ke toko yang di maksud bibi itu. Cukup jauh karena harus berbelok ke blok sebelahnya. Langit tampak berwarna kuning. Aku juga mulai lelah dan bosan. Aku lirik kearah sepatu ku. Astaga! Kotor sekali dan lengket. Aku hanya menepuk kening melihatnya.
            Setelah sampai di tokonya, kami langsung membeli bahan-bahan untuk membuat Daroyaki, Dango, Takoyaki, Okonomiyaki, Mochi, Onigiri, Manju, Taiyaki dan Permen Apel. Aku membawa dua kantong plastik dan Watari membawa satu kantong plastik belanjaannya. Lagi-lagi aku merasa di perbudak olehnya. Kami pun langsung berjalan menuju pulang, karena langit tampak sudah berwarna jingga.
“Chottomatte!” ujar Watari seraya meninggalkan plastik belanjaan yang dia bawa begitu saja.
“W-woy! Kau mau kemana, hah?” aku berteriak melihat Watari menyebrang begitu saja kearah toko yang menjual cumi-cumi kering.
“Astaga! Gadis bodoh itu sungguh merepotkan!” aku menghentakkan kaki ku kesal melihatnya.
            Lima menit sudah dia di toko itu tapi belum selesai juga dia berbelanja. Selang beberapa menit, akhirnya dia terlihat ingin menyebrang kemari. Dia membawa dua bungkus cumi-cumi kering di tangannya. Watari tampak melihat ke kiri dan kenan untuk menyebrang.
“Takumi-kun, aku belikan kau sa-“ mata ku membelalak lebar ketika melihat sebuah motor melaju kearah Watari.
“Awas!” aku melepaskan plastik belanjaan dari tanganku dan ku berlari menghampiri Watari. Watari yang bingung, terdiam berdiri di tengah jalan. Dia menatap kearah kanannya dan mendapati sebuah motor melaju kearahnya.
            Aku berlari dengan cepat tanpa pikir panjang lagi. Ku coba menggapai tangannya dengan mengulurkan tanganku. Ku dapatkan tangannya dan ku tarik Watari ke dalam dekapanku. Ku dekap dengan sangat erat dan ku bawa berlari ke pinggir jalan.
WUUUSH
BUK
“Argh!” aku menggeram saat aku dan Watari terguling ke pinggir jalan. Aku masih mendekapnya dan Watari pun tidak bereaksi saat itu. Ku dengar suara riuh mulai menghampiri kami.
“Da-daijoubu?” aku menatap Watari. Watari masih terdiam. Tangannya menggenggam kuat seragam ku. Tatapan matanya terlihat kosong. Sepertinya dia masih shock.
“K-kau bodoh, ya? Kenapa kau bisa tidak berhati-hati, huh?” aku mencoba duduk dan membantunya duduk juga. Watari masih terdiam. Dia tidak berani menatapku. Ku lihat orang-orang mulai bergerumunan di sekitar kami.
“Lutut dan kaki mu berdarah” ucapku seraya memeriksa kakinya, “Kita harus ke rumah sakit” ujar ku seraya mencoba menggendongnya.
“Chigau! Ini hanya luka kecil. Aku bisa mengobatinya sendiri” Watari mencoba berdiri dengan memaksakan keadaannya.
“Kau bodoh, ya?” aku tetap menggendongnya ke belakang punggung ku.
“Jangan ke rumah sakit! Aku tidak suka bau rumah sakit. Kau boleh membawa ku kemana saja, asal tidak ke rumah sakit” ucapnya sambil menundukkan wajahnya ke pundakku. Aku hanya diam dan menggendongnya ke sebrang. Setelah membawa kembali belanjaan kami, kami pun berancana membawanya ke apartemen ku saja untuk mengobatinya.
            Sesampai di apartemen, aku membuka pintu apartemen ku dan ku dudukkan Watari ke ruang tengah. Ku letakkan belanjaan kami di dekat pintu depan. Aku bergegas mencari kotak P3K dan membawanya ke ruang tengah. Aku berjongkok di hadapan Watari dan melepaskan kaos kakinya. Kaos kakinya sudah penuh darah dari luka di lututnya.
“Emh!” Watari tersentak saat aku melepaskan kaos kakinya tanpa berbicara sepatah kata pun.
“Diam saja!” ucapku dingin. Aku menumpahkan revanol ke kapas dan mengoleskannya secara perlahan ke luka di lututnya untuk membersihkan bakteri. Setelah selesai, ku teteskan obat merah dan ku perbani lututnya. Selama aku mengobati lututnya, Watari hanya diam.
“K-kau terluka juga, Takumi-kun. Lihat sikutmu!” Watari menyambar sikut ku, “Astaga! Ini parah dari milikku, Takumi-kun” Watari langsung mengambil revanol dan melakukan hal yang sama seperti yang ku lakukan padanya.
            Aku hanya duduk diam mengamatinya yang sedang serius mengobati sikutku. Kalau di perhatikan dari dekat, Watari memiliki aura yang berbeda dari yang ku tahu. Setidaknya dia memiliki aura feminimnya. Bahkan dia terlihat lebih cantik dari yang ku duga. Seandainya dia lebih peduli dengan penampilannya.
“Sudah” Watari menatapku. Kami terdiam sejenak saat wajah kami begitu dekat. Mata kami saling bertatapan. Bahkan nafasnya terasa di wajahku ketika berhembus. Aku langsung mengalihkan pandanganku.
“Kau ingin minum sesuatu?” tawarku seraya berdiri dan berjalan kearah dapur yang ruangannya bersatu dengan ruang tengah.
“Ah, terserah…” jawabnya lemas. Huuh…tadi adalah situasi yang sungguh rumit. Bodohnya juga kenapa aku membiarkannya mengobatiku.
“Kau tinggal sendirian di apartemen ini?” Watari menelusuri setiap sudut apartemen ku. Aku terdiam sejenak.
“Emh” jawab ku sembari membawa dua kaleng soda dingin, “Kore” aku memberikan satu kaleng soda dingin ke Watari. Aku duduk di kursi single di dekat jendela balkon.
“Arigatou. Emh…Apartemen sebesar ini, apa tidak memiliki poto keluarga?” Watari masih menelusuri apartemen ku sambil membuka tutup kaleng sodanya.
“Nannde?” ucapku sambil membuka tutup kaleng sodaku. Sepertinya, Watari mulai penasaran tentang kehidupanku.
“Iie, hanya saja ku lihat kau hidup dengan nyaman” jawabnya sambil meminum minumannya.
“Ya, hidupku nyaman. Sangat nyaman sebelum aku bertemu dengan mu” jawab ku sambil menatapnya tajam. Sontak Watari bergidik melihatku.
“Ah, hahaha” dia hanya terkekeh sambil menggaruk tekuk lehernya.
“Aku sudah hidup sendiri sejak duduk di bangku kelas 3 SMP. Orang tua ku bercerai. Okaa-san setelah bercerai kembali ke kampung halamannya. Hak Asuh di dapatkan oleh Otou-san ku. Tapi, selang beberapa bulan, Otou-san menikah dengan wanita yang menghancurkan keluargaku” ujar ku seraya meminum minumanku, “Aku memilih angkat kaki dari rumah dari pada serumah dengan nenek sihir itu. Setelah perceraian itu juga, Okaa-san tidak pernah menghubungi ku atau pun muncul di hadapanku sama sekali. Aku tidak terlalu memikirkan itu. Intinya urusan orang dewas itu terlalu rumit dan aku tidak menyukainya. Setidaknya, hidup sendiri seperti ini membuat ku nyaman. Bahkan aku dapat menjalani hidupku tanpa beban sampai saat ini” ujarku sambil menatap ke langit-langit apartemen.
“Aku malah sebaliknya. Aku ingin serumah dengan orang tua ku. Berbagi semua hal dengan keluargaku. Pasti itu mengasyikkan” Watari tersenyum lembut menatap ku. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal dari ekspresinya. Dia menundukkan wajahnya.
“Hahaha, tenang saja. Aku sama seperti dirimu. Aku tinggal sendiri di sebuah kos kecil” Watari tersenyum seperti biasa menatapku.
“Dimana keluargamu?” aku bertanya. Dia terdiam sejenak. Kemudian, menatap ku.
“Aku tidak memiliki keluarga ataupun orang tua. Bahkan aku tidak pernah tahu seperti apa orang tuaku. Aku dibesarkan di sebuah panti asuhan” jawabnya mencoba menyimpan sesuatu yang kelam di matanya. Aku tahu dia sedang berusaha tidak mengekspresikan kesedihannya.
“Sejak kecil aku sudah belajar menghidupi diriku berserta anak-anak di panti asuhan. Aku mengamen, berjualan bunga keliling, mengantar Koran ke rumah-rumah, mencuci piring di rumah makan, dan sekarang aku ikut membantu berjualan ikan di pasar. Bisa makan dan bersekolah pun aku sangat bersyukur sekarang” Watari terkekeh kecil sambil menggaruk tekuk lehernya. Mendengarkan kisah kehidupannya, seakan-akan menyadarkan diriku, bahwa diriku begitu tidak bersyukurnya dengan apa yang sudah aku miliki saat ini. Dengan keadaanya yang seakarang, dia tetap bersemangat, ceria bahkan aku jarang melihatnya mengeluh dengan keadaanya. Aku tersenyum menatapnya.
“Nannde, Takumi-kun?” Watari bertanya dan membuatku terkejut saat menyadari diriku yang terhanyut dengan kisahnya itu. Aku membuang pandanganku dan bangkit dari dudukku.
“I-iie. Aku akan mandi sebentar, setelah itu kita akan mengantar bahan-bahan itu ke rumah Matsuo-san” aku membuang kaleng minuman ku  bak sampah dan beranjak ke kamar mandi.
“Emh” Watari mengangguk.
            Aku bergegas mandi dan bersiap-siap ke rumah Matsuo. Setelah mandi, aku berpakaian dan tidak lupa membawa dompet dan ponselku. Aku berjalan ke ruang tengah dan menemui Watari. Ku lihat Watari tertidur di sofa ruang tengah. Ingin ku bangunkan tapi, aku sedikit tidak tega membangunkannya. Dia terlihat begitu lelah. Wajah tidurnya menunjukkan betapa banyak beban yang dia jalani hingga saat ini.
“Watari-san, Watari-san” aku menggoyang-goyangkan pundak Watari pelan.
“Emh…?” Watari terbangun dan mengggosok-gosokkan matanya.
“Wah!” Watari tiba-tiba berdiri.
BUK
“Argh! Sial! Kenapa kau berdiri tiba-tiba, Baka?!” keningku mengenai kepalanya yang keras seperti batu itu. Aku mengelus keningku yang terasa perih itu.
“K-kau…kau pertama kalinya memanggilku dengan nama ku!” seru Watari dengan girangnya sambil menunju-nunjuk wajahku. Sialan! Hanya karena itu dia menubruk keningku dengan kepala batunya itu.
“Bakayarou!” aku meninggalkannya sambil berjalan ke pintu depan.
“W-woy! Chottomatte!” Watari berteriak sambil menyusulku ke pintu depan.
            Kami pun berjalan menuju rumah Matsuo yang lumayan dekat dengan rumah ku. Aku pun baru tahu ketika gadis ikan ini memberitahu ku. Kami hanya mempuh sekitar 2 kilo meter dari apartemen ku. Sesampainya, kami memencet bel yang berada di samping pagar rumah Matsuo. Tak lama, keluar Matsuo dengan seorang laki-laki yang sangat-sangat aku kenal, Nakashima.
“Wah! Akimoto-kun!” seru Nakashima menghampiriku.
“Lutut mu kenapa, Miyako-chan?” Matsuo menyadari luka di lutut Watari.
“Sikutmu juga kenapa, Akimoto-kun?” Tanya Nakashima yang melirik kearah sikut ku.
“Hanya kecelakaan kecil waktu di Pasar” jawab ku seraya menyerahkan belanjaan kepada Nakashima.
“Hahaha, dasar! Baru saja berkunjung ke Pasar kau sudah dapat bencana Akimoto-kun. Bagaimana kalau ke hutan atau tempat lainnya yang lebih mainstream, hah?” Nakashima tampak puas mengolok ku. Aku menatapnya datar tanpa menghiraukan ocehan bodohnya itu.
“Aku pulang. Jaa!” aku langsung beranjak dari sana. Aku bisa gila kalau lama-lama dengan segerombolan orang bodoh seperti mereka.
“W-woy! Jangan ngambek, Pangeran!” Nakshima berteriak. Aku melambaikan sekali tangan kananku. Menandakan aku tidak ngambek.
~O~O~O~O~O~
            Hari ini adalah hari yang di tunggu-tunggu oleh sekolah ku, yaitu Festival Tahunan yang ke 52. Festival yang di adakan tahun ini cukup meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Karena kebanyakan konsep-konsep tahun ini sedikit meriah dan terencana dengan matang.
            Aku dan Nakashima datang lebih awal untuk membuka ruang kelas dan memastikan semua beres. Aku sedikit gerah dan gelisah dengan Kuromontsuki ku. Cih! Di musim panas menggunakan ini bisa pingsan kepanasan. Aku menata sedikit meja-meja yang sedikit kurang pas sambil menunggu yang lain datang. Setengah jam berlalu, aku hanya duduk di tempat kasir menunggu yang lain. Sampai sekarang batang hidung mereka pun tidak terlihat.
“Nakashima-kun. Mana yang lain, hah? Kau sudah hubungi mereka?” Tanya ku sambil memainkan kalkulator.
“Sudah. Mereka bilang, mereka lagi bersiap-siap. Ya maklumlah, kita kan pakai Yukata dan Kuromontsuki” jawab Nakashima sambil mencek ponselnya.
“Ohayou, minna-san!” seru suara melengking masuk ke ruang kelas. Aku sontak melihat kearah pintu masuk dan aku melihat sosok yang hampir saja tidak ku kenali. Dia sungguh berbeda. Rambutnya yang panjang itu dianyam kesamping dan ditambahkan aksesoris bunga mawar berwarna merah maron. Wajahnya pun tampak dipoleskan dengan make up yang natural. Obi pitanya yang berada di belakang membuat penampilannya semakin cantik dan sungguh menawan.
“Hah?!” aku membelalakkan mata karena terpesona akan penampilan Watari. Sungguh sosok yang berbeda dari yang sebelumnya.
“Ohayou, Takumi-kun. Ohayou, Tadayoshi-kun” sapa Matsuo seraya berdiri di dekat Watari yang baru saja datang dari belakang Watari.
“Ohayou mo, Matsuo-san, Watari-san” balas sapa Nakashima. Aku masih terdiam dan masih mengamati Watari yang sejak masuk ke kelas dia terus tersenyum.
“Ah, Takumi-kun. Bagaimana penampilan Miyako-chan? Aku membantunya berdandan pagi tadi” ujar Matsuo menanyakan pertanyaan aneh itu kepada ku.
“Hehehe, soalnya aku tidak mengerti menggunakan Obi-nya dan aku juga tidak punya make up” Watari terkekeh sambil menggaruk tekuk lehernya.
“Biasa saja” jawab ku seraya membuang pandanganku kearah lain.
“Apa saja dimata Akimoto-kun itu, semuanya biasa saja” sahut Nakashima sambil terkekeh dengan ekspresi bodohnya.
“Baka!” cetus ku.
“Bagaimana luka di lututmu?” Tanya ku pelan tanpa menatap kearah Watari.
“Eh? Ah, hanya luka seperti ini tidak akan menghalangiku sedikit pun” jawabnya. Aku mencoba menatapnya dan Watari membalasnya dengan senyuman kepadaku. Aku sempat terdiam sejenak dan langsung menatap kearah lain.
“Bagaimana denganmu?” tanyanya balik. Aku terdiam sejenak menatapnya.
“Ya, begitulah” jawab ku seraya menopang wajah ku dengan telapak tangan kiriku.
            Beberapa menit kemudian, datanglah murid-murid lainnya. Mereka bersiap-siap di tugas masing-masing. Aku dan Nakashima menjaga pintu depan beserta kasir. Watari dan Matsuo sebagai instruksi pengatur pelayanan untuk tamu. Yang lainnya, menjadi pelayan, penyiap makanan di ruang belakang tempat penyimpanan makanan dan sebagai promotor di halaman sekolah.
            Lima belas menit kemudian, Japanese Traditional Caffe pun di buka. Sedikit demi sedikit pengunjung mulai berdatangan ke tempat kami. Kami pun mulai di sibukkan dengan tamu-tamu yang datang. Aku menyambut tamu yang datang, sedangkan Nakashima menjaga bagian kasir. Sekekali aku melihat Watari yang sibuk memberikan instruksi dan menjelaskan beberapa menu untuk para tamu. Dia seperti seseorang yang professional di sebuah restoran modern. Mungkin karena pengalamannya yang mengajarkannya. Aku tersenyum melihat Watari yang entah kenapa tiba-tiba bisa membuat hati ku terpikat olehnya.
            Japanese Traditional Caffe telah berjalan sampai tujuh jam lamanya dan sudah lumayan banyak tamu yang berdatangan. Aku pun sudah mulai lelah terus berdiri dari pagi sampai sekarang. Nakashima pun terlihat agak dekil sekarang. Aku melirik kearah Watari yang masih bersemangat melayani beberapa tamu yang masih ada. Kagum. Itulah yang sekarang terpikir oleh ku. Benar-benar layaknya seorang yang pro.
            Setengah jam kemudian, Caffe resmi kami tutup. Kami semua langsung berseru bersamaan atas kerja keras kami untuk festival ini. Aku pun ikut bahagia dan tersenyum diantara mereka yang begitu lega atas hasil yang di dapat. Festival pun akan di tutup secara resmi malam ini di acara Api Unggun. Kami pun dapat perintah untuk segera berkumpul untuk melakukan acara Api Unggun di halaman sekolah.
“Konbanwa, minna-san” salam Pak Kepala Sekolah, “Terima kasih atas festival dan kerja samanya untuk hari ini. Konsep tahun ini benar-benar menakjubkan. Lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Kalian sukses untuk tahun ini. Saya sebagai Kaichou Sensei, sangat bangga dengan kalian. Dengan ini Festival Tahunan Sekolah yang ke 52, resmi saya akhiri” ucap Pak Kepala Sekolah.
SUUUUT
DUAAAAR
            Kembang api pun dinyalakan dengan  meriah. Langit pun berhiaskan kembang api yang sungguh cantik. Musik mulai di mainkan bertanda menari untuk mengelilingi api unggun di mulai. Pasangan-pasanagn mulai menari mengelilingi api unggun.
            Aku melirik ke samping ku dan kudapati Watari yang tengah asik menyaksikan kembang api yang menghiasi langit. Wajahnya seperti bercahaya di malam hari. Di tambah senyumnya menghiasai wajahnya. Tiba-tiba, jantung ku berdegub dengan kencang saat menatap wajahnya. Jantung ku memompa dengan sangat cepat dan membuat suhu badan ku memanas. Apa aku…apa aku…
“Takum-“ kalimat Watari terpotong oleh ku.
“Sukidesu!” kalimat berbahaya itu keluar dari mulut ku begitu saja ketika Watari memanggil ku.
“Hah?” Watari menatap ku bingung. Astaga! Bakayarou! Apa yang aku katakan barusan? Kenapa aku jadi ceroboh?
“Kau bilang apa tadi, Takumi-kun?” Watari mendekati ku untuk memastikan apa yang aku ucapkan tadi.
“A-ano, itu ada debu bakaran di hidung mu” ujarku mencari alasan untuk mengalihkan pembicaraan.
“Nanni? Dimana?” Watari menepuk-nepuk wajahnya. Aku mendekatinya.
“Kore” ujarku seraya membersihkan debu bakaran yang berada di hidungnya. Watari tediam saat menyadari apa yang barusan aku lakukan. Aku pun baru menyadarinya. TIDAK! APA YANG KAU LAKUKAN AKIMOTO BODOH?!
“AAH! Bakteri!” ujar ku untuk mengalihkan perhatiannya, “Aku harus membersihkan ini, sebelum aku jatuh sakit karena bakterinya” ujar ku seraya meninggalkannya. Aku berjalan cepat menuju pencucian tangan di samping gedung sekolah. Astaga! Bodohnya aku. Kenapa aku melakukan hal gila kepadanya? Aku menepuk keningku.
            Aku berjalan ke pencucian tangan di samping gedung sekolah. Aku membersihkan wajah ku dengan airnya. Kemudian aku mencuci tangan ku dengan sabun. Sial! Kenapa aku bisa sebodoh tadi. Tapi sungguh, hari ini, di festival ini, dia sungguh menawan. Cantik. Sangat cantik malah. Aku sampai tidak menyadari, bahwa dia adalah Miyako Watari. Seorang gadis ikan yang bodoh itu.
            Aku berjalan menuju kelas. Aku ingin beristirahat sejenak di sana. Karena semua berada di halaman, di sana pasti sepi. Aku ini menenangkan pikiran ku yang mulai kotor ini. Dan tepat sekali, gedung sekolah sepi. Di koridor tampak cukup gelap. Hanya sinar api unggun yang menerangi sedikit kearah gedung sekolah. Sesampai di depan kelas, ku geser pintu kelas dan…
“AARGH!” seorang gadis berteriak dan mencoba berlari setelah aku membuka pintu kelas. Kaki gadis itu tersandung karena sendalnya dan jatuh kearah ku.
“Argh!” aku terjatuh dan sikutku mengenai lantai lebih dulu. Terasa sangat perih ketika baru ku sadari ada luka di sikut ku. Aku masih terdiam menahan sakit ku dan gadis itu juga masih terdiam di atas tubuhku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dalam gelap.
“Su-sumimasen” ucap gadis itu seraya mencoba bangun. Suara ini sepertinya aku kenal.
“Watari-san?” ucapku sambil mencoba duduk. Aku mencoba menebaknya dalam gelap. Tapi yang terlihat hanya anting-anting yang berada di telinganya. Gadis itu terdiam. Dia tidak menjawab sama sekali.
            Dia bergegas berdiri dan aku pun juga. Dia berlari meninggalkanku begitu saja. Aku sangat yakin pasti itu Watari. Tapi, kenapa dia tidak menjawabnya? Lalu apa yang di lakukannya di dalam kelas yang gelap seperti ini tanpa menghidupkan lampunya? Aku mencoba menebaknya sambil berjalan ke dalam kelas untuk menghidupkan lampunya. Aku duduk di pinggir jendela sambil menopang dagu ku dengan telapak tanganku.
            Dari lantai tiga itu, di dalam kelas, bisa ku lihat betapa ramainya mereka di acara api unggun itu. Aku jadi ingat apa yang di katakan Nakashima. “Hidupmu akan lebih berwarna sekarang, Akimoto-kun!” ujarnya. Ku rasa dia tidak salah. Setidaknya, tidak sesuram yang pernah terpikir olehku tentang tahun terakhir ku berada di sekolah ini. Kenapa aku tiba-tiba merindukan sosok Ibu ku? Rasa senang ini rasanya ingin ku bagi bersamanya. Aku ingin dia tahu bahwa aku bisa menjalani hidupku saat ini dengan baik. Tapi, itu hanya pikiran semata. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi saat aku bertemu dengannya. Bahkan aku tidak tahu, sanggup apa tidak bertemu dengannya secara langsung. Semoga saat ini, dia baik-baik saja. Amin.
~O~O~O~O~O~
TING, TONG
“Da…re…ga…” aku berjalan keluar kamar sambil menggosok-gosok mataku yang masih terasa lengket setelah bangun tidur, “Masih jam tujuh pagi. Lagi pula ini hari minggu” ujar ku yang melihat jam dinding di ruang tengah.
TING, TONG
“Nee, chottomatte!” aku berteriak sambil berjalan menuju pintu depan.
“Dare g-“ ucapan ku terpotong setelah membuka pintu.
“Surprise!” Nakashima, Matsuo dan Watari datang memberiku kejutan. Mereka menggunakan topi ulang tahun, meniup terompet kecil dan menyemprotkan potongan-potongan kertas perca kepadaku. Aku baru sadar hari ini adalah ulang tahun ku.
“Otanjoubi omedetou, Akimoto-kun” Nakashima bodoh itu memelukku dengan manja. Aku hanya nyengir kuda.
“Otanjoubi omedetou, Takumi-kun” ujar Watari dan Matsuo bersamaan. Aku tersenyum kecil.
“Arigatou” ucapku sambil tersenyum kepada mereka.
“Nee” jawab Watari sambil tersenyum seperti biasa.
“Jaa, masuklah!” ucapku seraya mempersilahkan mereka masuk.
“Aku dan Tadayoshi pinjam dapur mu, yah? Kami akan menyiapkan makanan” ujar Matsuou seraya memperlihatkan belanjaannya. Aku mengangguk kecil kepadanya. Aku melirik Watari yang terdiam di depan jendela yang mengarah ke balkon itu. Dia memegang kotak kado yang cukup besar di tangannya. Apa itu untuk ku? Sebesar itu? Aku menghampirinya.
“Ikkho!” aku membuka jendela balkon dan mengajaknya ke balkon. Watari sempat terdiam. Kemudian, dia mengikuti ku.
“Kore” Watari memberikan kado besar yang di pegangnya kepadaku. Aku pun mengambilnya.
“Untuk ku?” aku memastikannya.
“Emh. Aku menemukannya di depan pintu apartemenmu” jawab Watari. Di depan apartemenku? Dari siapa?
            Aku pun membuka kotak kadonya. Aku lepas pitanya dan kubuka tutup kotak kadonya.  Di dalamnya terdapat, Sepatu sport, jaket dan celana trening Olah Raga, dan sepucuk surat di paling bawah. Aku ambil surat itu dan ku baca.
“Otanjoubi omedetou, Akimoto-chan. Semoga kau panjang umur, sehat selalu, semakin pintar dan semakin tampan. Gomen, setelah perceraian itu Okaa-san tidak pernah menemuimu lagi. Okaa-san takut karena, Otou-san mu tidak menginjinkan Okaa-san untuk menemui lagi. Dia melarang Okaa-san. Gomene, Okaa-san gagal mengambil hak asuh dirimu. Otou-san menggunakan kekuasaanya untuk mengambil hak asuh mu. Okaa-san sangat rindu padamu. Okaa-san ingin sekali melihat mu. Okaa-san ingin sekali memeluk mu. Okaa-san ingin sekali membelai punggungmu seperti dulu,. Hahaha, tapi sekarang kau pasti sudah tumbuh besar. Jadi, kau pasti akan menolak Okaa-san membelai punggungmu. Oh iya, Okaa-san sengaja memberi mu setelan pakaian Olah Raga agar kamu rajin Olah Raga. Agar kamu selalu sehat, Akimoto-chan. Satu lagi, Okaa-san saat ini tinggal di India. Okaa-san bekerja di sebuah Rumah Sakit besar di sana. Ini saja yang ingin Okaa-san sampaikan. Jaga dirimu baik-baik dan jadilah anak yang sukses, oke? From your mom, Mei Tachibana” tangan ku bergetar setelah membaca surat dari Ibu ku. Ada sesuatu yang menusuk di hati ku. Sesuatu yang membuat hati ini terasa sakit. Aku masih terdiam dan tidak bisa berkata-kata. Mata ku terasa panas ingin menangis. Tapi, aku mencoba menahannya.
“Takumi-kun, daijoubu?” Watari sepertinya menyadarinya. Aku menatapnya perlahan dan mata ku mendapati anting mutiara berwarna putih  yang bercahaya. Bercahaya sama seperti anting yang di gunakan oleh gadis yang menabrak ku waktu itu di sekolah di acara festival. Sudah ku duga.
“Watari…” panggil ku seraya meletakkan kepala ku kepundak kirinya untuk bersandar.
“Eh!” Watari sepertinya terkejut ketika aku menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Tapi, aku tidak menggubrisnya. Watari pun hanya diam setelahnya.
            Terasa nyaman setelah ku menyandarkan kepala ku kepundaknya. Rasa lega mengalir di hatiku yang awalnya terasa sakit ini. Aku tersenyum kecil. Semoga pundak ini bisa selalu memberiku kenyamanan seperti ini.
“Watari?” panggil ku yang masih menyandarkan kepala ku ke pundaknya.
“Emh?” sahut Watari yang masih terdiam di posisinya.
“Arigatou” ucapku pelan seperti berbisik.
“Emh, douita” jawabnya.
“Eeh, ano…” aku terkejut saaat Matsuo melihat kami berdua.
“Ah!” aku dan Watari sama-sama terkejut. Kami pun langsung bersikap biasa setelahnya.
“Makanannya sudah siap” Matsuo menatap kami dengan ekspresi datar. Sial! Lagi-lagi aku kedapatan di situasi yang salah. Aku benar-benar terbawa suasana tadi.
“Ah, nee!” jawab Watari sebahagia mungkin.
“Chotto!” aku menarik tangan Watari yang hendak masuk ke dalam itu.
“Ah, nanni?” Watari terkejut sambil menatap tangannya yang ku pegang itu.
“Jangan bilang ke siapa-siapa soal yang tadi. Cukup kita berdua saja yang tahu” ucapku dengan tenang kepadanya. Watari menatap ku sejenak.
“Emh, daijoubu” Watari tersenyum sangat lembut. Bahkan aku sempat terdiam menatap senyumnya itu.
            Aku dan Watari pun bergabung dengan Matsuo dan Nakashima yang mulai menyantap makanannya di ruang tengah. Kami merayakan Ulang Tahun dengan sederhana tapi benar-benar menyenangkan. Untuk pertama kalinya aku dapat tersenyum, tertawa dan berbagi seperti ini. Ternyata berbagi itu tidak buruk. Malah ini menyenangkan. Tertawa bersama mereka serperti beban yang ku miliku itu berterbangan jauh ke langit. Mungkin inilah arti dari berbagi bersama yang di maksud Watari. Aku pun menatapnya yang tertawa bebas itu. Dia menyadarinya dan tersenyum menatapku. Aku pun membalasnya tersenyum.
~THE END~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar