Clean & Dirty
Author :
Marinni Hasan
Main Cast : Akimoto
Takumi, Miyako Watari, Asuka Matsuo, and Nakashima Tadayoshi
Genre :
Slice of life, School, Romance and Comedy
Rating :
PG-15 Teens 15 or older
Note :
Di sarankan saat membacanya sambil mendengarkan lagu f(x) feat D.o EXO-Goodbye
Summer. Selamat membaca!
~O~O~O~O~O~
“Haaah” aku menghela nafas panjang sambil memandangi
matahari terbenam dari balik jendela kelas. Langit tampak berwarna jingga
sekarang. Ku topang dagu di atas sapu yang ku pegang dengan tangan kiri ku.
Tangan kanan ku, ku masukkan ke dalam saku celanaku.
“Akimoto-kun, ayo cepat selesaikan tugas menyapumu! Kita
tidak akan pulang kalau kelas ini masih kotor” ucap temanku yang sangat bawel
itu, Nakashima.
“Haah…iie” ku letakkan sapu ku di salah satu meja kelas dan
ku ambil tas ku dari bangku ku.
“Woy, Akimoto-kun! Kau mau kemana, hah?” Nakashima mencegahku
sambil membentang sapu yang di pegangnya untuk menghalangiku.
“Pulang” jawab ku sambil menyingkirkan sapu Nakashima yang
menghalangiku. Ku ambil sapu tangan dari saku celana ku dan ku bersihkan
seragamku dengan sapu tangan tersebut.
“Nanni?! Kau menyapu saja belum. Dan sekarang kau ingin
pulang? Oh, no no. Kau harus selesaikan tugasmu” Nakashima menarik lengan ku.
“Kau bisa lanjutkan itu sendiri, Nakashima-kun” ucapku
seraya memegang pundaknya sambil menunjukkan ekspresi penuh harap.
“Dan setelah selesai, cucilah tangan mu. Tangan mu sangat
kotor” ucapku seraya membersihkan lengan seragamku yang di pegang oleh
Nakashima. Nakashima hanya menunjukkan ekspresi bodohnya sambil membelalakan
matanya.
Aku
mengabaikannya dan meninggalkannya sendirian di kelas. Aku berjalan melewati
koridor sekolah di lantai dua ini sendirian. Sunyi. Semua pasti sudah pulang.
Ku pasang headshet ku yang tersambung dengan mini mp3 ku. Ku masukkan tanganku
ke dalam saku celana ku dan berjalan ke lantai bawah melewati tangga.
BRAAK
BUK
BUK
BUK
Seseorang
menabrakku dan membuat ku terjatuh dari tangga. Kepala ku terasa sedikit sakit
karena mengenai seasutu yang cukup keras. Itu tidak penting. Terpenting adalah
sekarang diriku di penuhi sampah-sampah kotor yang berasal dari bak sampah yang
menimpa kepalaku. Di tambah seorang gadis menimpa tubuhku. Gadis itu sempat
terdiam sejenak untuk menyadari apa yang terjadi.
“Ah…su-sumimasen*” gadis itu menatap ku dengan wajah
konyolnya. Aku menatapnya dengan tajam.
“Menyingkirlah!” ucapku sedikit mempertegas kata-kata ku.
Gadis itu sontak langsung berdiri dan memunguti sampah yang berhamburan.
“Kau tidak punya mata, yah?” tanya ku sambil membersihkan
kotoran dari seragamku. Astaga! Seragamku jadi berbau sangat menyengat. Ku
lihat gadis itu sedikit terkejut mendengarku dan dia menatap ku bingung.
“Bukankah aku sudah minta maaf” jawabnya dengan yakin.
Kenapa aku merasa jengkel saat melihat ekspresinya itu.
“Dasar sampah!” ucapku dengan ketus. Ku berjalan
meninggalkannya.
“Itu sangat kasar tahu! Aku sudah minta maaf. Lagi pula aku
tidak sengaja” gadis itu berteriak dari arah belakangku. Ku berbalik dan
menatapnya dengan sangat tajam.
“Tidak sengaja? Kau berlari di koridor sambil membawa
sampah-sampah itu dan kau bilang itu tidak sengaja?” ucapku sambil menunjuk
sampah-sampah yang berserakan itu.
“Sekarang karena kebodohan mu itu, aku jadi berbau sampah.
Menjijikan!” ucapku sambil kembali memasang Headshet ku. Dia membelalakkan
matanya dan menatapku dengan ketidakpercayaan. Aku mengabaikan gadis menjijikan
itu dan terus berjalan pulang.
Sial!
Seluruh badanku berbau sampah. Ditambah seragam putihku menjadi sangat kotor.
Menjijikan sekali! Sepertinya hari ini adalah hari kesialan ku. Cih, Baka! Ini
semua karena gadis kotor itu. Ekspresinya yang bodoh itu membuatku semakin
jengkel.
Aku
mempercepat langkahku menuju halte bus agar aku cepat sampai ke apartemen ku.
Aku ingin bergegas membersihkan tubuhku ini. Aku tidak tahan melihat diriku
yang kotor dan berbau ini. Sesampai di halte, selang beberapa menit, bus tujuan
ku berhenti. Aku langsung masuk ke dalam bus itu dan duduk di kursi paling
belakang. Aku sengaja memilih kursi paling belakang agar tidak ada yang
menyadari diriku saat ini.
Sesampai
di apartemen, aku langsung menuju kamar mandi. Ku lepas semua pakaian ku dan ku
lempar pakaian itu begitu saja di depan kamar mandi. Ku hidupkan shower dan ku
berdiri di bawah air yang keluar dari shower itu.
“Haah…akhirnya” ucapku setelah tubuhku di basahi oleh air
shower itu.
Ku ambil
sabun cair beserta sponnya. Ku tumpahkan banyak sabun cairnya ke spon dan ku
buat berbusa yang melimpah. Ku gosok dengan kuat ke seluruh tubuhku dengan spon
busa melimpah itu. Setelah selesai membersihkan tubuhku, ku ambil sampo
setelapak tangan ku dan ku pijat ke kepalaku. Kemudian, ku ambil sabun wajah
ku, ku tumpahkan setelapak tangan ku dan ku gosok-gosok sampai benar-benar
kasat di wajahku. Setelah semua selesai, ku bilas seluruh tubuh ku.
“Humh” aku mencium pergelangan tangan kiriku ketika keluar
dari kamar mandi sambil mengerikan rambut ku dengan handuk dengan tangan
kananku.
Ku
berjalan menuju ruang tengah untuk menghidupkan televisi. Ya, karena apartemen
ini sungguh sunyi karena hanya diriku di dalamnya. Ayah dan Ibu ku bercerai
ketika aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Kemudian Ibu, beliau kembali ke kampung
halamannya. Hak Asuh diriku berada di tangan Ayahku. Entah kenapa saat sidang
Ibu tidak mengusahakan Hak Asuh diriku untuknya. Mungkin dia tidak mau repot
mengurusku.
Sekarang
sudah dua tahun lamanya aku tidak melihat Ibu ku. Lagi pula dia tidak mencari
atapun mau repot-repot menanyakan kabarku. Sungguh, setelah perceraian itu,
beliau tidak pernah muncul di hadapanku sama sekali. Dan selang beberapa bulan
setelah perceraiannya, dengan bangganya Ayah menikah lagi dengan perempuan yang
jauh lebih muda 10 tahun dari umur Ayah. Pasti perempuan jalang itulah yang
mecoba menjadi orang ketiga di hubungan Ayah dan Ibu. Sejak saat itu juga aku
angkat kaki dari rumah dan memilih tinggal di apartemen ini sendirian.
Seakan-akan hidupku ini tidak ada arti bagi orang tua ku. Walaupun Ayah
mengirimkan uang yang banyak untuk ku setiap bulannya, tapi perhatian
sia-sianya itu hanya seperti memanjakan ku semata. Sekarang, di apartemen ini,
aku bisa hidup aman, nyaman dan damai walaupun hanya diriku seorang.
Sudah
waktunya makan malam, aku berjalan menuju dapur untuk memasak makan malam. Ku
buka pintu kulkas ku dan…
“Kosong?! Astaga! Aku lupa berbelanja ketika pulang tadi”
aku menepuk keningku. Aku terlalu fokus dengan masalah di sekolah tadi, jadi
lupa kalau kulkas ku sudah kosong. Sekarang juga sudah jam setengah delapan
malam. Aku beralih ke lemari meja memasak ku dan ku menemukan mie ramen instan
di sana.
“Untuk malam ini saja aku makan ini” ujar ku seraya
menghidupkan kompor gas.
Setelah
selesai, ku bawa mie ramen ku ke depan televisi. Ku santap mie ramen ku sambil
menonton sebuah acara berita di televisi. Setelah selesai, ku matikan televisi dan
ku cuci mangkok ku setelah makan. Kemudian, ku berjalan ke kamar untuk
mengerjakan tugas sekolah ku.
Sekarang
pukul 10.45 Pm. Mata ku mulai berat. Aku pun mengakhiri belajar ku dan
berbaring ke tempat tidur. Ku letakkan pergelangan tanganku ke keningku.
Tiba-tiba wajah gadis bodoh itu melintas di pikiran ku. Sialan! Kenapa aku
malah kepikiran gadis bodoh itu. Ku tarik selimut ku dan ku pejamkan mataku.
~O~O~O~O~O~
Setelah
mandi, aku bersiap-siap ke Supermarket untuk berbelanja bahan makanan. Karena
ini musim panas, aku hanya memakai kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Tidak
lupa membawa dompet ku dan aku pun berangkat ke Supermarket.
Matahari
mulai memancarkan cahayanya ke bumi. Tapi, jalanan Tokyo masih sepi. Ya, karena
sekarang baru saja jam enam pagi. Aku yang rajin ini rela bangun pagi-pagi
untuk berbelanja bahan makanan bagaiman seorang Ibu Rumah Tangga. Inilah
konsikuensi hidup sendiri. Sesampai di Supermarket, aku langsung mengambil
keranjang belanja dan berjalan menuju rak bahan makanan.
“Dimana ikan dan dagingnya?” ucapku yang melihat rak ikan
dan dagingnya kosong.
“Sumimasen, ikan dan dagingnya habis atau kosong?” Tanya ku
ke salah satu karyawan Supermarket.
“Ah, gomen. Ikan dan daging akan datang jam delapan nanti”
jawab karyawan tersebut. Aku terdiam sejenak dan berpikir kemana aku bisa
mendapatkan ikan dan daging selain di Supermarket ini.
“Kenapa tidak ke pasar saja? Di sana lebih banyak dan
harganya juga murah” saran pegawai itu.
Aku
sedikit terkejut saat dia menyebutkan “Pasar”. Itu adalah tempat kedua yang
paling ku hindari selain Pembuangan Sampah. Di pasar itu sesak, kotor, bau dan
berisik. Aku tidak suka tempat itu. Aku juga tidak pernah ke yang namanya
“Pasar” itu.
“Supermarket di dekat sini apa tidak ada lagi?” ujarku
dengan ekpresi harap.
“Iie, ku rasa di dearah ini, cuman ini Supermarket.
Pasarnya kan hanya berjarak 3 blok dari sini. Jalan kaki juga kau akan sampai”
jawabnya sambil pergi membawa kardus ke rak lainnya. Aku hanya mengelus
keningku saat mendengarkan jawabannya.
Ku lihat
jam tangan ku dan kulihat sekarang pukul 06.15 Am. Waktu terus berjalan. Kalau
aku tidak berbelanja sekarang aku tidak akan dapat membuat sarapan pagi ini.
Tidak ada pilihan lain. Aku harus ke pasar. Aku pun beranjak dari Supermarket
itu.
Sesampainya
aku berjalan dari Supermarket, aku sudah berdiri di depan gang pasar
tradisional itu. Kulihat suasana pasar yang riuh itu semakin membuat ku tidak
ingin masuk ke sana. Ku lihat jalannya yang basah dan kotor itu membuat ku
tidak bisa bergerak dari posisi ku. Bau amis dan menyengat mulai menusuk
hidungku.
“Iie! Aku harus ke sana! Aku beli beberapa bahan makanan
dan segera pulang setelah itu” ujarku yang mempercepat langkah ku masuk ke area
pasar itu. Aku harus bertahan untuk beberapa menit saja untuk berbelanja di sana.
SRRT
“Hah?!” seseorang telah menyiram celanaku. Bau amis mulai
tercium dari celanaku.
“AH! Sumimasen” ucap seroang gadis tengah mencoba
mengerikan celana ku dengan handuk ke-ri-ngat-nya. Mata ku membelalak melihat
yang tengah dia lakukan padaku.
“Omae!” ucapku bersamaan dengannya. Gadis bodoh di sekolah!
Dia menyiramku dengan air bekas cumi-cumi yang bau dan kotor dari ember yang
dia pegang.
“K-kau lagi!” aku geram melihatnya.
“A-a-ano, aku sungguh tidak sengaja. Aku tidak melihat mu
yang lew-“ ku potong penjelasannya.
“Diam!” aku mengencangkan sedikit suaraku, “Aku muak
mendengar penjelasanmu. Apakah dua kalinya kau berbuat seperti ini, semua itu
tidak di sengaja, hah?!” aku membentaknya. Dia terdiam dan terlihat bingung
menatap ku. Aku membalasnya dengan menatapnya dengan lekat. Aku membalikkan
badanku dan beranjak dari sana.
“Aku akan bertanggung jawab. Aku akan mencuci celana mu”
ujarnya yang menarik lenganku.
“Chigau!” aku berteriak dan menyingkirkan tangannya dari
lenganku. Dia terjatuh dan terduduk di tanah. Aku hanya menatapnya dengan
ekspresi datar. Orang-orang yang berada di sekitar kami mulai menatap kami.
“Daijoubu, Miyako-chan?” ucap seorang bibi yang mencoba
membantunya. Aku hanya mengabaikannya dan segera beranjak pergi dari posisiku.
Sesampai
di rumah, ku keluarkan belanjaan ku. Aku mendapatkan bahan makanan di toko
dekat gang pasar saat itu. Syukurnya apa yang ingin ku beli ada di situ.
Sebelum memasak, aku membersihkan diriku terlebih dulu ke kamar mandi.
“Sial! Kenapa setiap bertemu dengannya, aku selalu saja dibuatnya
seperti ini?” aku menampar diding kamar mandi. Aku benar-benar tidak
menyukainya. Bahkan aku sekarang membencinya. Andai aku punya sihir, ingin ku
musnahkan gadis bodoh itu.
“Lihat saja nanti!” ucapku seraya menatap wajahku ke cermin
di kamar mandi.
~O~O~O~O~O~
1 tahun kemudian…
Hari ini
adalah tahun ajaran baru. Sekarang aku naik ke kelas 3, tepatnya aku akan masuk
ke kelas 3-2. Ku ganti sepatu ku ke loker dan ku berjalan menuju lantai tiga
dimana kelas ku berada. Ku dapati dua pintu kelas ku terbuka dan suara bising
dari sana mulai terdengar. Aku masuk melewati pintu belakang.
“Yo, Ohayou, Akimoto-kun” sapa seseorang yang tak asing,
Nakshima. Dia duduk di bangku di urutan keempat di samping jendela.
“Emh, Ohayou” jawab ku santai sambil berjalan menuju kursi
di depan Nakashima.
“Yaa, aku tidak menyangka kita sekelas lagi, Akimoto-kun”
ujar Nakashima sambil menepuk-nepuk pundak ku.
“Tanganmu sudah kau cuci, kan?” ucapku yang meraih
tangannya dan memeriksanya. Nakashima hanya terdiam sambil menampakkan wajah
oonnya.
“Kau tidak pernah berubah ya, dari sifat sok bersihmu itu”
ujar Nakashima yang menyingkarkan tanganku yang memegangnya.
“Setidaknya aku tidak dekil seperti mu” sahutku seraya
meliriknya yang duduk di belakangku.
“Jahatnya” ucapnya terdengar miris. Aku hanya tersenyum
kecil membayangkan ekspresinya saat ini.
Aku raih
mini mp3 ku dan ku pasangkan Headshet yang sudah tersambung itu. Ku play lagu
One Ok Rock yang berjudul Clock Strikes. Ku pangku wajahku dengan telapak
tangan kiri ku sambil menunggu seorang sensei masuk ke kelas ini untuk
memberikan pengumuman. Sekitar satu jam lagi, kami akan mengadakan upacara
penyambutan tahun ajaran baru di Aula sekolah.
“Ohayou, minna-san” teriak seorang gadis dengan nyaringnya.
Aku yang sedang mendengarkan lagu pun bisa mendengar suara cekingnya itu. Aku
tidak menggubrisnya. Tiba-tiba seorang gadis dengan percaya dirinya menyapaku.
“Ohay- Omae?!” dia sangat histeris sangat menyadari diri
ku. Aku terkejut yang menyapa adalah gadis bodoh yang selalu membuat ku sial di
dekatnya.
“Ki-kita sekelas?” tanyanya seraya duduk di kursi tepat di
sampingku. Aku hanya menatapnya dengan ekspresi datar dan berbalik menatap
kearah luar jendela dengan menopang wajahku dengan telapak tangan kananku.
‘Sial! Aku sekelas dengan gadis ini. Mana lagi dia duduk di
sampingku’ ucapku dalam hati. Aku hanya tidak perlu memperdulikkannya dan
menganggapnya tidak ada. Good, seperti itu.
Aku
mendengar sedikit percakapan Nakashima dengan gadis bodoh itu. Dia menyebutkan
namanya Miyako Watari dari kelas 2-3. Kemudian, ada seorang gadis lain lagi
yang ikut mengobrol dengan mereka. Seketika di sekitar ku menjadi bising oleh
tiga makluk itu. Sepertinya tahun terakhir ku di sekolah ini akan menjadi suram
sekarang. Aku hanya menutup wajahku dengan telapak tanganku saat membayangkan
apa yang akan terjadi selama satu tahun terakhir di kelas ini.
“Ohayou, minna-san” suara seseorang dengan suara serak
masuk ke kelas kami. Ya, itu Sensei kelas kami. Aku melepaskan Headshet ku dan
menyimpannya ke dalam tas.
“Baiklah, sekitar lima belas menit lagi upacara pembukaan
tahun ajaran baru akan di mulai. Berbarislah sesuai urutan kelas saat di Aula.
Baik, itu saja yang ingin saya sampaikan. Setelah ini, kalian langsung saja ke
Aula dengan rapi” ucap Sensei itu.
“Hai!” jawab kami serentak. Setelah Sensei keluar, kami pun
menyusulnya ke Aula.
Upacara
berjalan dengan hikmat seperti biasa. Di tahun ini lebih banyak dari tahu
kemarin murid baru yang masuk ke sekolah ini. Terlihat Aula cukup penuh sampai
ke area belakang. Upacara berlangsung sekitar satu jam dan itu membuat ku
bosan. Sambutan-sambutan yang ku rasa tidak penting itu terlalu banyak yang
menyampaikannya. Ku rasa kepala sekolah saja untuk menyampaikannya itu cukup.
Setelah selesai kami di bubarkan dan pergi menuju kelas.
“Baiklah. Karena ini tahun ajaran baru, kita akan memilih
Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris beserta Bendahara kelas. Jadi, kita
membutuhkan empat orang dari murid kelas ini. Emh…siapa yang bersedia?” ujar
Sensei yang sambil menatap kami satu persatu. Aku hanya mengabaikannya dan
membuang pandangan ku ke luar jendela. Susana hening untuk beberapa menit.
Sepertinya tidak ada yang bersedia menjadi relawan di kelas ini.
“Watashi!” suara melengking tiba-tiba bergema di kelas saat
hening. Aku sontak menatap Watari yang duduk di bangku sebelah ku. Dia mengangkat
tangannya dan menunjukkan ekspresi bangga atas dirinya.
“Cih!” aku kembali menatap keluar jendela tanpa
memperdulikannya.
“Ada lagi?” ucap Sensei yang merasa hanya satu yang memang
bersedia, “Baiklah. Deal Watari-san menjadi Ketua Kelas?” Tanya Sensei lagi
untuk memastikan. Semua mulai berbisik.
“Bagaimana? Deal?” ucap Sensei lagi. Aku melirik sedikit
kearah Sensei.
“Oke, Deal” ujarnya sambil mengetuk sekali mejanya.
“Sekarang kita memilih wakilnya. Siapa yang bersedia?”
tawar Sensei lagi sambil mengamati murid-muridnya. Aku hanya diam dan mengamati
orang-orang kelas sedang berbisik itu.
“Akimoto-kun, Sensei!” Nakashima tiba-tiba mengangkat
tangan kanan ku dari belakang.
“Hah?!” aku terkejut dan panik. Aku menatap tajam ke
Nakshima yang duduk di belakang ku. Dia hanya terkekeh.
“Takumi-san? Kau mau menajdi wakil?” Tanya Sensei
memastikan.
“Ah..i-“ ucapanku terpotong oleh Nakashima.
“Coba saja dulu! Nanti aku akan mencalonkan diri menjadi
Bendaharanya” dengan wajah tanpa dosanya dia mengatakan itu sambil mengacungkan
jempol kepadaku.
“Kau bodoh, ya?” aku menatapnya datar dan menyingkirkan
tangan Nakashima yang masih memegang tanganku.
“Bagaimana, Takumi-san?” Sensei bertanya kembali.
“Ah..an- ano…” aku mulai bingung menjawab pertanya Sensei.
Aku menatap ke orang-orang kelas dan mendapati ekspresi yang penuh harap dari
mereka semua. Ekspresi mereka menyatakan seakan-akan meminta pada ku untuk
mengiyakan pertanyaan Sensei dan segera mengakhiri pemilihan kandidat kelas
ini. Apalagi ekspresi Watari yang bodoh itu. Dia tersenyum kepadaku seakan-akan
dia tidak pernah melakukan hal keji kepadaku. Sial! Aku terpojok kali ini.
“Hai, Sensei” jawab ku sambil membuang pandangan ku keluar
jendela. Ya, aku TIDAK ikhlas. Nakashima terkekeh bahagia di belakang karena
aku menyetujui saran bodohnya.
“Baiklah. Ketua Kelas adalah Miyako Watari dan Wakilnya
adalah Akimoto Takumi. Sekarang Sekretaris dan Bendaharanya. Siapa yang
bersedia?” ucap Sensei.
“Watashi!” jawab Nakashima bersamaan dengan seorang gadis
yang duduk di depan Watari. Ya, itu pasti teman Watari.
“Siapa yang ingin menjadi Sekretaris?” Tanya Sensei sambil
melihat dua calon kandidat itu.
“Watashi” ucap gadis yag duduk di depan Watari itu.
Seketika Watari terkekeh seakan-akan dirinya tidak sendiri untuk mengurus kelas
ini.
“Baiklah. Asuka Matsuo adalah Sekretarisnya dan Nakashima
Tadayoshi adalah Bendaharanya. Deal!” Sensei mengetuk mejanya sekaligus
mengakhiri pemilihan organisasi kelas ini.
“Bulan Agustus nanti kita akan mengadakan festival sekolah
tahunan yang ke 52. Jadi, diskusikan apa yang ingin kalian adakan untuk kelas
ini. Dan untuk ketua kelas, besok tolong serahkan jadwal piket kelas ke meja
saya di ruang guru. Untuk hari ini, kalian sebagai organisasi kelas baru yang
akan membersihkan kelas ini sehabis jam sekolah” ucap Sensei sambil merapikan
bukunya.
“Hai! Wakata!” jawab Watari mantap.
‘Sial! Lengkap sudah nasib buruk ku di tahun ini. Bukannya
di tahun terkahir di sekolah ini aku bisa merasa nyaman dan tenang. Malah dapat
bencana bertubi-tubi seperti ini’ ucapku dalam hati sambil menyandarkan wajahku
ke meja.
“Berdiri!” ucap Watari. Kami semua pun berdiri dan
menundukkan badan untuk memberi hormat kepada Sensei.
“Ganbatte, Miyako-chan!” Matsuo san menyemangti si gadis
tukang ikan itu. Aku hanya terduduk lemas dan membayangkan apa yang akan
terjadi sampai kelulusan ku nanti. Sungguh suram.
“He! Akimoto-kun. Ganbattene” Nakashima
menggoyang-goyangkan tubuhku dari belakang.
“Diam, kau Nakashima!” ucapku sambil menyandarkan wajahku
meja kembali.
“Hahaha, dia memang seperti ini. Tenang saja!” ucap
Nakshima dengan percaya diri. Aku mendengar dua suara gadis terkekeh setelah
mendengar pernyataan Nakshima.
~O~O~O~O~O~
Setelah
jam sekolah berakhir, aku, Nakashima, Matsuo dan gadis ikan, Watari itu
membersihkan kelas. Sungguh kesialan ku datang bertubi-tubi sejak gadis bodoh
ikan itu menabrak ku saat di tangga. Di tambah aku tertumpah sampah yang di
bawanya. Sejak saat itu, hanya ada rasa kesal dan jengkel melihat dirinya yang
menatap ku tanpa dosa sedikit pun. Seakan-akan yang terjadi kemarin itu hanya
angin lewat semata.
“Et-etto, Takumi-kun, Gomenasai untuk yang terjadi kemarin”
Bravo! Dia seperti baru saja membaca pikiranku. Dia menundukkan Sembilan puluh
derajat badannya kepadaku.
“Aku sungguh menyesal karena sikap cerobohku” ucapnya
dengan nada menyesal dan ekspresi yang sedikit membuatku kasihan.
“Emh…” jawabku yang masih diam duduk di atas meja sambil
memegang sapu yang dari tadi hanya ku pegang. Gadis itu seketika terkekeh
melihat ku.
“Woy, Akimoto-kun. Kau dari tadi diam duduk di sana tidak
mengerjakan apa-apa. Cepat selesaikan dan kita bisa cepat pulang” Nakashima
mulai bawel. Aku beranjak dari duduk ku dan mengambil tas ku.
“Ini! Ku serahkan kepadamu!” ujarku menyerahkan sapu kepada
Nakshima. Sontak Nakashima membelalakkan matanya.
“Jaa nee” aku melambaikan tangan kepada Nakashima dan
berjalan keluar kelas.
“Kita belum menyelesaikan ini, Takumi-kun” ucap Matsuo. Aku
pun berhenti tepat di depan pintu kelas dan berbalik melihatnya.
“Ini bukan tugas ku. Tapi tugas, Nakashima-kun. Karena dia
yang mencalonkanku. Jadi, dia yang akan melakukanya untuk ku” ujarku sambil
tersenyum licik kepada Nakashima yang menganga lebar tidak percaya dengan
penjelasan ku. Aku pun terkekeh kecil meninggalkan mereka begitu saja.
Sesampai
di apartemen, aku bergegas ingin membersihkan tubuhku yang di penuhi debu saat
di kelas tadi. Aku meletakkan tas di atas meja belajar ku dan ku lepaskan
seluruh pakaianku. Aku langsung menuju kamar mandi dan mengguyurkan tubuhku
dengan air lewat shower. Setelah selesai mandi, ku buat kopi susu hangat dan ku
minum di balkon apartemen ku.
Angin sore
di Tokyo, di musim panas ini, lumayan sejuk. Melihat matahari terbenam sambil
menikmati hangatnya kopi susu, sedikit merelakskan pikiranku sejenak. Tiba-tiba
suasana sepi menyelimuti ku. Ya, tempat ini hampa. Sejak kejadian 3 tahun lalu,
aku bahkan tidak sedikit pun merasa sedih. Lebih tepatnya aku tidak tahu cara
merespon sesuatu yang telah terjadi waktu itu dan saat ini. Kejadian yang
seharusnya aku merasa sedih dan kecewa, malah membuat ku semakin mengerti bahwa
orang dewasa itu merepotkan. Mereka terlalu rumit untuk ku mengerti.
Aku
menghilangkan pikiran yang tidak penting itu dan meminum kopi susu ku sebelum
berubah menjadi dingin. Biar semuanya seperti ini untuk saat ini. Karena aku
mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan ku saat ini. Anggap saja semua memang
sudah takdir ku.
~O~O~O~O~O~
Aku
membeli tiga bungkus roti dan dua kaleng susu soda untuk makanan jam istirahat
ku saat ini. Aku membelinya di kantin bersama Nakashima. Kami membawanya ke
kelas untuk di makan bersama. Sesampai di kelas aku duduk ke bangku ku.
Nakashima menarik bangkunya ke meja ku untuk ikut makan bersama ku.
“Waah! Sepertinya bentomu enak, Miyako-chan!” seru Matsuo
yang melihat isi bento Watari. Aku manatap dua gadis yang tengah berseri-seri
itu.
“Boleh aku mencicipinya?” ucap Matsuo seraya ingin
menyumpit isi bento Watari.
“Hahaha, boleh, boleh. Silahkan!” jawab Watari dengan
ekspresi luar biasanya. Watari menggaruk-garuk kepalanya. Kemudian menyubit
bento dengan tangannya. Astaga! Jorok sekali gadis ini. Tangan sehabis
menggaruk kepala, dia gunakan untuk mengambil makanan.
“Waaah bentonya sepertinya enak! Apa aku boleh mencicipinya
juga?” ucap Nakashima sambil berbalik kearah belakangnya dan melihat dua gadis
yang tengah asik itu. Nakashima langsung menyambar sumpit milik Matsuo dan
menyumpit telur gulung dari bento Watari.
“Loaak!” aku mulai mual-mual melihat adegan mengerikan
mereka. Aku tidak bisa bayangkan isi perut Nakashima yang telah menyantap bento
itu. Mungkin kutu-kutu akan bersarang di ususnya. Seketika, Nakashima, Matsuo
dan Watari menatap kearah ku dengan heran. Aku langsung membuang pandangan ku
kearah jendela.
“Kau mau juga, Takumi-kun?” aku melirik sedikit ke
sampingku. Ku tatap wajah bloon gadis ikan yang sedang menawari bentonya
kepadaku. Susunan bento itu bagus dan rapi, tapi kandungan gizinya sudah
tercemar akibat kutu-kutu dari rambutnya.
“Hah…iie. Makan saja sana” jawabku sedikit sinis kepadanya.
“Wakata!” jawabnya mantap. Ku lihat lagi gadis itu dan dia
tengah menyantap dengan lahap bentonya. Seketika, perutku terasa sakit dan
panas. Aku benar-benar tidak nafsu lagi memakan roti-roti dan susu soda ku
setelah apa yang aku lihat tadi.
“Woy!” aku menendang kursi Nakashima, “Habiskan saja
makanan ku ini” ujarku seraya menyodorkan semua makanan yang ku beli di kantin.
“Waah?! Beneran nih, Akimoto-kun?” Nakashima terlihat
girang sekali. Aku mengangguk sekali.
“Oh iya, sehabis jam pelajaran terakhir, kita rapat untuk
mempersiapkan festival musim panas di bulan Agustus nanti. Nanti jangan ada
yang pulang dulu, ya?” ujar Watari. Aku hanya menyimaknya begitu saja.
Nakashima dan Matsuo mengangguk mantap.
Aku
mengambil mini mp3 ku dan pasang Headshet ku. Ku play lagu One Ok Rock yang
berjudul the Beginning sambil menopang wajah ku dengan tanganku. Beberapa menit
kemudian, seorang Sensei masuk ke kelas. Aku pun melepaskan Headshet ku dan
meletakkannya kembali ke dalam tas sekaligus mengambil buku pelajaran ku.
Pelajaran
berlangsung dengan baik seperti biasa. Sesekali aku melirik Watari yang terus
memainkan pulpennya. Tidak lama, dia menggigit-gigit pulpennya. Setelah bosan,
dia menggoyang-goyangkan kakinya. Gadis ini sepertinya tidak pernah bisa diam.
Ada saja yag dia lakukan. Dasar!
Jam
pelajaran terakhir pun berakhir. Langit tampak berwana kuning dan kami masih
berada di kelas ini. Watari sedang berdiskusi kecil bersama Matsuo. Tidak lama,
Watari maju ke depan kelas dan berdiri di balik meja guru. Dia akan memulai
rapat.
“Konnichiwa, minna-san. Terima kasih sudah mau meluangkan
waktu untuk rapat sore hari ini. Kita langsung saja akan melakukan voting
festival yang cocok untuk kelas kita. Kita akan mencantumkan beberapa pilihan
dari ide-ide yang di sarankan” ujar Watari seraya menuliskan sesuatu di papan
tulis dengan kapur tulis.
“Lolita Ghotic Caffe!” seru suara seorang gadis entah siapa
itu. Watari mulai menulis di papan tulis.
“Ramalan!” teriak seorang gadis lagi.
“Kalau Lolita Ghotic Caffe, kami para laki-laki melakukan
apa?” seru seorang laki-laki yang sedikit tidak setuju dengan ide itu.
“Iya, betul itu!” beberapa laki-laki berseru juga. Aku pun
mengangguk setuju.
“Tenang dulu. Kita cantumkan saja dulu. Nanti baru kita
voting bersama” Watari menenangkan suasana. Emh…ya lumayanlah.
Setelah
mencantumkan beberapa pilihan untuk festival, Watari mulai membuat kolom di
papan tulis untuk voting. Voting di mulai dari Lolita Ghotic Caffe sampai
seterusnya. Dan aku, aku tidak memilih apa pun. Karena aku tidak berminat
dengan festival apa pun itu. Itu semua merepotkan.
“Baiklah. Voting terbanyak adalah…” mata ku melirik ke
papan tulis ketika Watari mulai mengumumkan hasil voting, “Japanese Traditional
Caffe!” seru Watari dengan girang.
“Hah?!” aku membelalakkan mata saat Watari menyebutkan
hasil voting.
“Wah! Bagaimana itu konsepnya?” seru Nakashima yang begitu
girangnya dari belakang.
“Konsepnya, kita akan dekorasi kelas ini dengan konsep suasana
Tradisional Jepang. Yang perempuan nanti akan menggunakan Yukata dan
laki-lakinya menggunakan Kuromantsuki” ucap Watari sambil menepuk sekali kedua
telapak tangannya. Aku berpikir keras tentang konsep yang gadis bodoh itu
jelaskan.
“Lalu untuk makanan dan minumannya, kita menyediakan apa?”
ucap salah seorang gadis.
“Tentunya makanan Tradisional Jepang. Tapi, hanya cemilan
tradisional saja. Nanti aku akan membagi beberapa kelompok untuk berbagi tugas
dalam membeli properti, atribut, bahan makanan serta perlengkapan lainnya. Untuk
bahan makanan dan membuatnya, biar aku, Takumi-kun, Tadayoshi-kun dan
Asuka-chan” ucap Watari sambil menatap ku. Aku hanya mengerutkan kening jengkel
dengan sikapnya. Lagi-lagi aku mendapatkan pekerjaan yang tidak penting dari
gadis bodoh itu. Dengan percaya dirinya dia menyebutkan namaku untuk tugas itu.
Seharusnya dia bertanya dulu, mau atau tidak kepadaku.
Selesai
membagi kelompok beserta tugasnya, rapat pun di bubarkan. Aku, Watari,
Nakashima dan Matsuo masih bertahan. Karena gadis bodoh itu ingin menjelaskan
rincian yang harus di beli untuk bahan makanannya. Aku masih duduk diam di
bangku ku sambil menopang wajah ku dengan telapak tanganku. Watari masih
berdiri di depan kelas, sedangkan Matsuo dan Nakashima masih duduk di bangku
mereka masing-masing.
“Aku dan Takumi-kun yang akan berbelanja untuk bahan makanannya. Kalian berdua yang
akan memasaknya, bagaimana?” Watari menunjuk Nakashima dan Matsuo. Aku sontak
menatapnya tajam saat menyebutkan tugas kami.
“Nanni?! Kita berdua yang berbelanjan?” Tanya ku menatapnya
serius.
“Hah, nee!” Watari mengangguk mantap. Dia menunjukkan wajah
penuh keyakinanya itu.
“Kalau, aku sih bisa saja. Matsuo-san bagaimana?” Nakashima
menyetujui tugas yang diberikan gadis bodoh itu.
“Boleh. Nanti kita masak di rumah ku saja. Okaa-san pasti
mau membantu kita” saran Matsuo kepada Nakashima. Dasar pasangan aneh! Mereka
menyetujuinya begitu saja. Aku menutup wajah ku dengan telapak tangan ku untuk
menjernihkan pikiranku. Sepertinya kepala ku mulai terkena virus dari gadis
bodoh itu.
“Apa tidak ada tugas lain selain berbelanja bahan makanan?”
Tanya ku menatap jengkel kearah Watari.
“Emh, iie. Karena kalau kita berbelanja di pasar, aku bisa
negokan harga bahannya dengan penjual di sana. Karena aku banyak kenalan dengan
orang-orang yang berjualan di pasar” jelas Watari sambil tersenyum lebar kearah
ku.
“Nan-nanni? Ke pasar?” aku berdiri sambil memukul meja
belajar ku. Sontak semua terkejut dan menatap kearah ku.
“Hahaha, Akimoto-kun kan gak bisa yang namanya ke pasar” Nakashima
tertawa dengan bangga. Aku menatap tajam kearahnya. Nakashima langsung menutup
mulutnya dengan telapak tangannya.
“Hemh? Nannde?” Matsuo bertanya dan menatap ku seolah-olah
aku orang yang aneh.
“Bukan urusanmu” aku duduk kembali ke kursi ku, “Intinya
aku tidak mau ke PASAR!” aku menegaskan kata PASAR untuk mengacanmnya.
“Lalu kau ingin berbelanja dimana? Di toko? Di Supermarket?
Di Mall? Itu mahal” ucap Watari.
“Intinya ya jangan ke pasar! Aku tidak suka ke sana. Dan
kau lupa kejadian apa yang terakhir kau buat, hah?” aku mengungkit masalah yang
pernah terjadi itu. Aku mulai terserang penyakit “MUAK”.
“E-ee….ano. Ta-tapi, aku mencoba mengatur uang dari Sensei
agar cukup untuk membeli semua yang kita butuhkan. Kau tahukan masih banyak
yang harus di beli?” jelas Watari. Benar juga kata gadis bodoh itu. Hah…memang
tidak ada jalan lain lagi sepertinya. Kali ini aku memang terjatuh ke perangkap
gadis bodoh ini.
“Hidupmu akan lebih berwarna sekarang, Akimoto-kun!”
Nakashima berbisik ke telingaku. Aku langsung beranjak dari tempat duduk dan
meraih tas ku.
“Sudah selesai, kan? Aku pulang!” ucapku dengan nada
dingin.
“W-woy! Kita akan ke pasar setelah mendekorasi kelas sehari
sebelum festival, oke?” Watari berteriak saat aku berjalan keluar kelas. Aku
tidak meresponnya. Aku memasang Headshet ku dan ku play lagu dari mini mp3 ku.
Dasar cerewet!
~O~O~O~O~O~
Tibalah
hari dimana esoknya adalah festival. Hari ini semua kelas akan di sibukkan
dengan persiapan festival. Kelas kami hari ini mulai mendekorasi kelas.
Berbagai properti sudah di siapkan tinggal di buat dan di tata. Watari tampak
sibuk menginstruksikan pekerjaan kepada murid-murid lainnya. Aku hanya berdiri
mendengarkan lagu dengan mini mp3 ku di samping jendela.
“Woy! Kenapa kau hanya berdiri saja, hah? Bantulah yang
lain, Akimoto-kun” Nakashima menyenggolku dengan sikutnya.
“Iie!” jawab ku tanpa menatapnya.
“Ah, ittai!” ujar seorang gadis yang sedang membuat pot
untuk tanaman bambu. Aku melepaskan Headshet ku dan menghampiri gadis itu.
“Biar aku yang melakukannya” ucapku sambil mengambil palu
dari tangannya. Semua mata memandang ku heran saat itu.
“Nannde?” Tanya ku. Semua hening dan seketika kembali ke
pekerjaan masing-masing. Seketika Watari tersenyum sumringah kepadaku. Aku
hanya mengabaikannya dan melanjutkan pekerjaan ku.
Kalau
bukan dia seorang gadis, aku tidak akan mau menolongnya. Karena aku bukan
laki-laki yang lembek membiarkan seorang gadis terluka untuk mengerjakannya. Walaupun
ini merepotkan dan melelahkan. Aku menyelesaikan beberapa pot dan meletakkan bambu
palsu itu ke dalam potnya.
“Hah…sudah selesai” ucapku sambil menepuk-nepuk kedua
telapak tanganku untuk membersihkan debu di telapak tanganku.
“Waah! Sudah berani kotor, yah?” ucap Nakashima menyinggung
ku.
“Iie” aku tersenyum sambil memegang kedua pipi Nakashima.
Nakashima sontak terkejut dan merasa aneh.
“Takumi-kun, ikkho, kita berangkat ke pasar. Sudah jam
tiga” ucap Watari seraya melihat jam dinding kelas.
“Emh” aku mengangguk sekali.
“Woy, Akimoto-kun! O-omae!” Nakashima menyadari pipinya
yang kotor karena tanganku. Aku hanya tersenyum kecil melihat kebodohannya. Aku
menyambar tisu basah milik salah seorang gadis di kelas dan membersihkan
tanganku.
~O~O~O~O~O~
Aku dan
Watari sampai di depan gang pasar yang dimaksud. Aku hanya berdiri di
belakangnya sambil memasukkan kedua tangan ku ke saku celana. Watari sedang
asik mencek catatan belanjanya. Aku mulai gerah menunggunya. Matahari lumayan
membuat suasana menjadi panas di area pasar ini. Melelahkan!
“Yap, ikkho, kita ke dalam!” ajak Watari dengan semangat.
Aku hanya mengikutinya dari belakang dan menutup hidungku dengan telapak
tanganku.
“Konnichiwa, Miyako-chan!” sapa seorang bibi penjual sayur
padanya. Bibi yang pernah menolongnya waktu jatuh karena aku menyingkarkan
tangan Watari.
“Ah, Konnichiwa mo, Oba-chan!” Watari menghampiri bibi itu.
Aku hanya menundukkan sedikit kepala ku untuk memberi hormat kepada bibi itu.
“Tumben sore-sore ke pasar. Ada apa?” tanya bibi itu seraya
menata sayur-sayurnya.
“Ah, aku ingin membeli beberapa bahan untuk membuat cemilan
tradisional untuk festival di sekolah” ucap Watari seraya membantu bibi itu
mengangkat kardus.
“Oh, ke toko bahan kue saja Di tokonya Kaname Oji-san. Di
sana lengkap” saran bibi itu.
“Ah, benar juga. Ikkho, Takumi-kun! Arigatou, Oba-chan”
ucap Watari seraya melambaikan tangan ke bibi
itu. Aku hanya mengamatinya dari belakang.
Kami pun
bergegas ke toko yang di maksud bibi itu. Cukup jauh karena harus berbelok ke
blok sebelahnya. Langit tampak berwarna kuning. Aku juga mulai lelah dan bosan.
Aku lirik kearah sepatu ku. Astaga! Kotor sekali dan lengket. Aku hanya menepuk
kening melihatnya.
Setelah
sampai di tokonya, kami langsung membeli bahan-bahan untuk membuat Daroyaki,
Dango, Takoyaki, Okonomiyaki, Mochi, Onigiri, Manju, Taiyaki dan Permen Apel.
Aku membawa dua kantong plastik dan Watari membawa satu kantong plastik belanjaannya.
Lagi-lagi aku merasa di perbudak olehnya. Kami pun langsung berjalan menuju
pulang, karena langit tampak sudah berwarna jingga.
“Chottomatte!” ujar Watari seraya meninggalkan plastik
belanjaan yang dia bawa begitu saja.
“W-woy! Kau mau kemana, hah?” aku berteriak melihat Watari
menyebrang begitu saja kearah toko yang menjual cumi-cumi kering.
“Astaga! Gadis bodoh itu sungguh merepotkan!” aku
menghentakkan kaki ku kesal melihatnya.
Lima menit
sudah dia di toko itu tapi belum selesai juga dia berbelanja. Selang beberapa
menit, akhirnya dia terlihat ingin menyebrang kemari. Dia membawa dua bungkus
cumi-cumi kering di tangannya. Watari tampak melihat ke kiri dan kenan untuk
menyebrang.
“Takumi-kun, aku belikan kau sa-“ mata ku membelalak lebar
ketika melihat sebuah motor melaju kearah Watari.
“Awas!” aku melepaskan plastik belanjaan dari tanganku dan
ku berlari menghampiri Watari. Watari yang bingung, terdiam berdiri di tengah
jalan. Dia menatap kearah kanannya dan mendapati sebuah motor melaju kearahnya.
Aku
berlari dengan cepat tanpa pikir panjang lagi. Ku coba menggapai tangannya
dengan mengulurkan tanganku. Ku dapatkan tangannya dan ku tarik Watari ke dalam
dekapanku. Ku dekap dengan sangat erat dan ku bawa berlari ke pinggir jalan.
WUUUSH
BUK
“Argh!” aku menggeram saat aku dan Watari terguling ke
pinggir jalan. Aku masih mendekapnya dan Watari pun tidak bereaksi saat itu. Ku
dengar suara riuh mulai menghampiri kami.
“Da-daijoubu?” aku menatap Watari. Watari masih terdiam.
Tangannya menggenggam kuat seragam ku. Tatapan matanya terlihat kosong.
Sepertinya dia masih shock.
“K-kau bodoh, ya? Kenapa kau bisa tidak berhati-hati, huh?”
aku mencoba duduk dan membantunya duduk juga. Watari masih terdiam. Dia tidak
berani menatapku. Ku lihat orang-orang mulai bergerumunan di sekitar kami.
“Lutut dan kaki mu berdarah” ucapku seraya memeriksa
kakinya, “Kita harus ke rumah sakit” ujar ku seraya mencoba menggendongnya.
“Chigau! Ini hanya luka kecil. Aku bisa mengobatinya
sendiri” Watari mencoba berdiri dengan memaksakan keadaannya.
“Kau bodoh, ya?” aku tetap menggendongnya ke belakang
punggung ku.
“Jangan ke rumah sakit! Aku tidak suka bau rumah sakit. Kau
boleh membawa ku kemana saja, asal tidak ke rumah sakit” ucapnya sambil
menundukkan wajahnya ke pundakku. Aku hanya diam dan menggendongnya ke sebrang.
Setelah membawa kembali belanjaan kami, kami pun berancana membawanya ke
apartemen ku saja untuk mengobatinya.
Sesampai
di apartemen, aku membuka pintu apartemen ku dan ku dudukkan Watari ke ruang
tengah. Ku letakkan belanjaan kami di dekat pintu depan. Aku bergegas mencari
kotak P3K dan membawanya ke ruang tengah. Aku berjongkok di hadapan Watari dan
melepaskan kaos kakinya. Kaos kakinya sudah penuh darah dari luka di lututnya.
“Emh!” Watari tersentak saat aku melepaskan kaos kakinya
tanpa berbicara sepatah kata pun.
“Diam saja!” ucapku dingin. Aku menumpahkan revanol ke
kapas dan mengoleskannya secara perlahan ke luka di lututnya untuk membersihkan
bakteri. Setelah selesai, ku teteskan obat merah dan ku perbani lututnya.
Selama aku mengobati lututnya, Watari hanya diam.
“K-kau terluka juga, Takumi-kun. Lihat sikutmu!” Watari
menyambar sikut ku, “Astaga! Ini parah dari milikku, Takumi-kun” Watari
langsung mengambil revanol dan melakukan hal yang sama seperti yang ku lakukan
padanya.
Aku hanya
duduk diam mengamatinya yang sedang serius mengobati sikutku. Kalau di perhatikan
dari dekat, Watari memiliki aura yang berbeda dari yang ku tahu. Setidaknya dia
memiliki aura feminimnya. Bahkan dia terlihat lebih cantik dari yang ku duga.
Seandainya dia lebih peduli dengan penampilannya.
“Sudah” Watari menatapku. Kami terdiam sejenak saat wajah
kami begitu dekat. Mata kami saling bertatapan. Bahkan nafasnya terasa di
wajahku ketika berhembus. Aku langsung mengalihkan pandanganku.
“Kau ingin minum sesuatu?” tawarku seraya berdiri dan
berjalan kearah dapur yang ruangannya bersatu dengan ruang tengah.
“Ah, terserah…” jawabnya lemas. Huuh…tadi adalah situasi
yang sungguh rumit. Bodohnya juga kenapa aku membiarkannya mengobatiku.
“Kau tinggal sendirian di apartemen ini?” Watari menelusuri
setiap sudut apartemen ku. Aku terdiam sejenak.
“Emh” jawab ku sembari membawa dua kaleng soda dingin,
“Kore” aku memberikan satu kaleng soda dingin ke Watari. Aku duduk di kursi
single di dekat jendela balkon.
“Arigatou. Emh…Apartemen sebesar ini, apa tidak memiliki
poto keluarga?” Watari masih menelusuri apartemen ku sambil membuka tutup
kaleng sodanya.
“Nannde?” ucapku sambil membuka tutup kaleng sodaku.
Sepertinya, Watari mulai penasaran tentang kehidupanku.
“Iie, hanya saja ku lihat kau hidup dengan nyaman” jawabnya
sambil meminum minumannya.
“Ya, hidupku nyaman. Sangat nyaman sebelum aku bertemu
dengan mu” jawab ku sambil menatapnya tajam. Sontak Watari bergidik melihatku.
“Ah, hahaha” dia hanya terkekeh sambil menggaruk tekuk
lehernya.
“Aku sudah hidup sendiri sejak duduk di bangku kelas 3 SMP.
Orang tua ku bercerai. Okaa-san setelah bercerai kembali ke kampung halamannya.
Hak Asuh di dapatkan oleh Otou-san ku. Tapi, selang beberapa bulan, Otou-san
menikah dengan wanita yang menghancurkan keluargaku” ujar ku seraya meminum
minumanku, “Aku memilih angkat kaki dari rumah dari pada serumah dengan nenek
sihir itu. Setelah perceraian itu juga, Okaa-san tidak pernah menghubungi ku
atau pun muncul di hadapanku sama sekali. Aku tidak terlalu memikirkan itu.
Intinya urusan orang dewas itu terlalu rumit dan aku tidak menyukainya. Setidaknya,
hidup sendiri seperti ini membuat ku nyaman. Bahkan aku dapat menjalani hidupku
tanpa beban sampai saat ini” ujarku sambil menatap ke langit-langit apartemen.
“Aku malah sebaliknya. Aku ingin serumah dengan orang tua
ku. Berbagi semua hal dengan keluargaku. Pasti itu mengasyikkan” Watari
tersenyum lembut menatap ku. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal dari
ekspresinya. Dia menundukkan wajahnya.
“Hahaha, tenang saja. Aku sama seperti dirimu. Aku tinggal
sendiri di sebuah kos kecil” Watari tersenyum seperti biasa menatapku.
“Dimana keluargamu?” aku bertanya. Dia terdiam sejenak.
Kemudian, menatap ku.
“Aku tidak memiliki keluarga ataupun orang tua. Bahkan aku
tidak pernah tahu seperti apa orang tuaku. Aku dibesarkan di sebuah panti
asuhan” jawabnya mencoba menyimpan sesuatu yang kelam di matanya. Aku tahu dia
sedang berusaha tidak mengekspresikan kesedihannya.
“Sejak kecil aku sudah belajar menghidupi diriku berserta
anak-anak di panti asuhan. Aku mengamen, berjualan bunga keliling, mengantar
Koran ke rumah-rumah, mencuci piring di rumah makan, dan sekarang aku ikut
membantu berjualan ikan di pasar. Bisa makan dan bersekolah pun aku sangat
bersyukur sekarang” Watari terkekeh kecil sambil menggaruk tekuk lehernya.
Mendengarkan kisah kehidupannya, seakan-akan menyadarkan diriku, bahwa diriku
begitu tidak bersyukurnya dengan apa yang sudah aku miliki saat ini. Dengan
keadaanya yang seakarang, dia tetap bersemangat, ceria bahkan aku jarang
melihatnya mengeluh dengan keadaanya. Aku tersenyum menatapnya.
“Nannde, Takumi-kun?” Watari bertanya dan membuatku
terkejut saat menyadari diriku yang terhanyut dengan kisahnya itu. Aku membuang
pandanganku dan bangkit dari dudukku.
“I-iie. Aku akan mandi sebentar, setelah itu kita akan mengantar
bahan-bahan itu ke rumah Matsuo-san” aku membuang kaleng minuman ku bak sampah dan beranjak ke kamar mandi.
“Emh” Watari mengangguk.
Aku
bergegas mandi dan bersiap-siap ke rumah Matsuo. Setelah mandi, aku berpakaian
dan tidak lupa membawa dompet dan ponselku. Aku berjalan ke ruang tengah dan
menemui Watari. Ku lihat Watari tertidur di sofa ruang tengah. Ingin ku
bangunkan tapi, aku sedikit tidak tega membangunkannya. Dia terlihat begitu
lelah. Wajah tidurnya menunjukkan betapa banyak beban yang dia jalani hingga
saat ini.
“Watari-san, Watari-san” aku menggoyang-goyangkan pundak
Watari pelan.
“Emh…?” Watari terbangun dan mengggosok-gosokkan matanya.
“Wah!” Watari tiba-tiba berdiri.
BUK
“Argh! Sial! Kenapa kau berdiri tiba-tiba, Baka?!” keningku
mengenai kepalanya yang keras seperti batu itu. Aku mengelus keningku yang
terasa perih itu.
“K-kau…kau pertama kalinya memanggilku dengan nama ku!”
seru Watari dengan girangnya sambil menunju-nunjuk wajahku. Sialan! Hanya
karena itu dia menubruk keningku dengan kepala batunya itu.
“Bakayarou!” aku meninggalkannya sambil berjalan ke pintu
depan.
“W-woy! Chottomatte!” Watari berteriak sambil menyusulku ke
pintu depan.
Kami pun berjalan
menuju rumah Matsuo yang lumayan dekat dengan rumah ku. Aku pun baru tahu
ketika gadis ikan ini memberitahu ku. Kami hanya mempuh sekitar 2 kilo meter
dari apartemen ku. Sesampainya, kami memencet bel yang berada di samping pagar
rumah Matsuo. Tak lama, keluar Matsuo dengan seorang laki-laki yang
sangat-sangat aku kenal, Nakashima.
“Wah! Akimoto-kun!” seru Nakashima menghampiriku.
“Lutut mu kenapa, Miyako-chan?” Matsuo menyadari luka di
lutut Watari.
“Sikutmu juga kenapa, Akimoto-kun?” Tanya Nakashima yang
melirik kearah sikut ku.
“Hanya kecelakaan kecil waktu di Pasar” jawab ku seraya
menyerahkan belanjaan kepada Nakashima.
“Hahaha, dasar! Baru saja berkunjung ke Pasar kau sudah
dapat bencana Akimoto-kun. Bagaimana kalau ke hutan atau tempat lainnya yang
lebih mainstream, hah?” Nakashima tampak puas mengolok ku. Aku menatapnya datar
tanpa menghiraukan ocehan bodohnya itu.
“Aku pulang. Jaa!” aku langsung beranjak dari sana. Aku
bisa gila kalau lama-lama dengan segerombolan orang bodoh seperti mereka.
“W-woy! Jangan ngambek, Pangeran!” Nakshima berteriak. Aku
melambaikan sekali tangan kananku. Menandakan aku tidak ngambek.
~O~O~O~O~O~
Hari ini
adalah hari yang di tunggu-tunggu oleh sekolah ku, yaitu Festival Tahunan yang
ke 52. Festival yang di adakan tahun ini cukup meriah dari tahun-tahun
sebelumnya. Karena kebanyakan konsep-konsep tahun ini sedikit meriah dan
terencana dengan matang.
Aku dan
Nakashima datang lebih awal untuk membuka ruang kelas dan memastikan semua
beres. Aku sedikit gerah dan gelisah dengan Kuromontsuki ku. Cih! Di musim
panas menggunakan ini bisa pingsan kepanasan. Aku menata sedikit meja-meja yang
sedikit kurang pas sambil menunggu yang lain datang. Setengah jam berlalu, aku
hanya duduk di tempat kasir menunggu yang lain. Sampai sekarang batang hidung
mereka pun tidak terlihat.
“Nakashima-kun. Mana yang lain, hah? Kau sudah hubungi
mereka?” Tanya ku sambil memainkan kalkulator.
“Sudah. Mereka bilang, mereka lagi bersiap-siap. Ya
maklumlah, kita kan pakai Yukata dan Kuromontsuki” jawab Nakashima sambil mencek
ponselnya.
“Ohayou, minna-san!” seru suara melengking masuk ke ruang
kelas. Aku sontak melihat kearah pintu masuk dan aku melihat sosok yang hampir
saja tidak ku kenali. Dia sungguh berbeda. Rambutnya yang panjang itu dianyam
kesamping dan ditambahkan aksesoris bunga mawar berwarna merah maron. Wajahnya
pun tampak dipoleskan dengan make up yang natural. Obi pitanya yang berada di
belakang membuat penampilannya semakin cantik dan sungguh menawan.
“Hah?!” aku membelalakkan mata karena terpesona akan
penampilan Watari. Sungguh sosok yang berbeda dari yang sebelumnya.
“Ohayou, Takumi-kun. Ohayou, Tadayoshi-kun” sapa Matsuo
seraya berdiri di dekat Watari yang baru saja datang dari belakang Watari.
“Ohayou mo, Matsuo-san, Watari-san” balas sapa Nakashima.
Aku masih terdiam dan masih mengamati Watari yang sejak masuk ke kelas dia
terus tersenyum.
“Ah, Takumi-kun. Bagaimana penampilan Miyako-chan? Aku
membantunya berdandan pagi tadi” ujar Matsuo menanyakan pertanyaan aneh itu
kepada ku.
“Hehehe, soalnya aku tidak mengerti menggunakan Obi-nya dan
aku juga tidak punya make up” Watari terkekeh sambil menggaruk tekuk lehernya.
“Biasa saja” jawab ku seraya membuang pandanganku kearah
lain.
“Apa saja dimata Akimoto-kun itu, semuanya biasa saja”
sahut Nakashima sambil terkekeh dengan ekspresi bodohnya.
“Baka!” cetus ku.
“Bagaimana luka di lututmu?” Tanya ku pelan tanpa menatap
kearah Watari.
“Eh? Ah, hanya luka seperti ini tidak akan menghalangiku
sedikit pun” jawabnya. Aku mencoba menatapnya dan Watari membalasnya dengan
senyuman kepadaku. Aku sempat terdiam sejenak dan langsung menatap kearah lain.
“Bagaimana denganmu?” tanyanya balik. Aku terdiam sejenak
menatapnya.
“Ya, begitulah” jawab ku seraya menopang wajah ku dengan
telapak tangan kiriku.
Beberapa
menit kemudian, datanglah murid-murid lainnya. Mereka bersiap-siap di tugas
masing-masing. Aku dan Nakashima menjaga pintu depan beserta kasir. Watari dan
Matsuo sebagai instruksi pengatur pelayanan untuk tamu. Yang lainnya, menjadi
pelayan, penyiap makanan di ruang belakang tempat penyimpanan makanan dan
sebagai promotor di halaman sekolah.
Lima belas
menit kemudian, Japanese Traditional Caffe pun di buka. Sedikit demi sedikit
pengunjung mulai berdatangan ke tempat kami. Kami pun mulai di sibukkan dengan
tamu-tamu yang datang. Aku menyambut tamu yang datang, sedangkan Nakashima
menjaga bagian kasir. Sekekali aku melihat Watari yang sibuk memberikan
instruksi dan menjelaskan beberapa menu untuk para tamu. Dia seperti seseorang
yang professional di sebuah restoran modern. Mungkin karena pengalamannya yang
mengajarkannya. Aku tersenyum melihat Watari yang entah kenapa tiba-tiba bisa
membuat hati ku terpikat olehnya.
Japanese
Traditional Caffe telah berjalan sampai tujuh jam lamanya dan sudah lumayan
banyak tamu yang berdatangan. Aku pun sudah mulai lelah terus berdiri dari pagi
sampai sekarang. Nakashima pun terlihat agak dekil sekarang. Aku melirik kearah
Watari yang masih bersemangat melayani beberapa tamu yang masih ada. Kagum.
Itulah yang sekarang terpikir oleh ku. Benar-benar layaknya seorang yang pro.
Setengah
jam kemudian, Caffe resmi kami tutup. Kami semua langsung berseru bersamaan
atas kerja keras kami untuk festival ini. Aku pun ikut bahagia dan tersenyum
diantara mereka yang begitu lega atas hasil yang di dapat. Festival pun akan di
tutup secara resmi malam ini di acara Api Unggun. Kami pun dapat perintah untuk
segera berkumpul untuk melakukan acara Api Unggun di halaman sekolah.
“Konbanwa, minna-san” salam Pak Kepala Sekolah, “Terima
kasih atas festival dan kerja samanya untuk hari ini. Konsep tahun ini
benar-benar menakjubkan. Lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Kalian
sukses untuk tahun ini. Saya sebagai Kaichou Sensei, sangat bangga dengan
kalian. Dengan ini Festival Tahunan Sekolah yang ke 52, resmi saya akhiri” ucap
Pak Kepala Sekolah.
SUUUUT
DUAAAAR
Kembang
api pun dinyalakan dengan meriah. Langit
pun berhiaskan kembang api yang sungguh cantik. Musik mulai di mainkan bertanda
menari untuk mengelilingi api unggun di mulai. Pasangan-pasanagn mulai menari
mengelilingi api unggun.
Aku
melirik ke samping ku dan kudapati Watari yang tengah asik menyaksikan kembang
api yang menghiasi langit. Wajahnya seperti bercahaya di malam hari. Di tambah
senyumnya menghiasai wajahnya. Tiba-tiba, jantung ku berdegub dengan kencang
saat menatap wajahnya. Jantung ku memompa dengan sangat cepat dan membuat suhu
badan ku memanas. Apa aku…apa aku…
“Takum-“ kalimat Watari terpotong oleh ku.
“Sukidesu!” kalimat berbahaya itu keluar dari mulut ku begitu
saja ketika Watari memanggil ku.
“Hah?” Watari menatap ku bingung. Astaga! Bakayarou! Apa
yang aku katakan barusan? Kenapa aku jadi ceroboh?
“Kau bilang apa tadi, Takumi-kun?” Watari mendekati ku
untuk memastikan apa yang aku ucapkan tadi.
“A-ano, itu ada debu bakaran di hidung mu” ujarku mencari alasan
untuk mengalihkan pembicaraan.
“Nanni? Dimana?” Watari menepuk-nepuk wajahnya. Aku
mendekatinya.
“Kore” ujarku seraya membersihkan debu bakaran yang berada
di hidungnya. Watari tediam saat menyadari apa yang barusan aku lakukan. Aku
pun baru menyadarinya. TIDAK! APA YANG KAU LAKUKAN AKIMOTO BODOH?!
“AAH! Bakteri!” ujar ku untuk mengalihkan perhatiannya,
“Aku harus membersihkan ini, sebelum aku jatuh sakit karena bakterinya” ujar ku
seraya meninggalkannya. Aku berjalan cepat menuju pencucian tangan di samping
gedung sekolah. Astaga! Bodohnya aku. Kenapa aku melakukan hal gila kepadanya?
Aku menepuk keningku.
Aku
berjalan ke pencucian tangan di samping gedung sekolah. Aku membersihkan wajah
ku dengan airnya. Kemudian aku mencuci tangan ku dengan sabun. Sial! Kenapa aku
bisa sebodoh tadi. Tapi sungguh, hari ini, di festival ini, dia sungguh
menawan. Cantik. Sangat cantik malah. Aku sampai tidak menyadari, bahwa dia
adalah Miyako Watari. Seorang gadis ikan yang bodoh itu.
Aku
berjalan menuju kelas. Aku ingin beristirahat sejenak di sana. Karena semua
berada di halaman, di sana pasti sepi. Aku ini menenangkan pikiran ku yang
mulai kotor ini. Dan tepat sekali, gedung sekolah sepi. Di koridor tampak cukup
gelap. Hanya sinar api unggun yang menerangi sedikit kearah gedung sekolah.
Sesampai di depan kelas, ku geser pintu kelas dan…
“AARGH!” seorang gadis berteriak dan mencoba berlari setelah
aku membuka pintu kelas. Kaki gadis itu tersandung karena sendalnya dan jatuh
kearah ku.
“Argh!” aku terjatuh dan sikutku mengenai lantai lebih
dulu. Terasa sangat perih ketika baru ku sadari ada luka di sikut ku. Aku masih
terdiam menahan sakit ku dan gadis itu juga masih terdiam di atas tubuhku. Aku
tidak bisa melihat wajahnya dalam gelap.
“Su-sumimasen” ucap gadis itu seraya mencoba bangun. Suara
ini sepertinya aku kenal.
“Watari-san?” ucapku sambil mencoba duduk. Aku mencoba
menebaknya dalam gelap. Tapi yang terlihat hanya anting-anting yang berada di
telinganya. Gadis itu terdiam. Dia tidak menjawab sama sekali.
Dia
bergegas berdiri dan aku pun juga. Dia berlari meninggalkanku begitu saja. Aku
sangat yakin pasti itu Watari. Tapi, kenapa dia tidak menjawabnya? Lalu apa
yang di lakukannya di dalam kelas yang gelap seperti ini tanpa menghidupkan
lampunya? Aku mencoba menebaknya sambil berjalan ke dalam kelas untuk
menghidupkan lampunya. Aku duduk di pinggir jendela sambil menopang dagu ku
dengan telapak tanganku.
Dari
lantai tiga itu, di dalam kelas, bisa ku lihat betapa ramainya mereka di acara
api unggun itu. Aku jadi ingat apa yang di katakan Nakashima. “Hidupmu akan
lebih berwarna sekarang, Akimoto-kun!” ujarnya. Ku rasa dia tidak salah.
Setidaknya, tidak sesuram yang pernah terpikir olehku tentang tahun terakhir ku
berada di sekolah ini. Kenapa aku tiba-tiba merindukan sosok Ibu ku? Rasa
senang ini rasanya ingin ku bagi bersamanya. Aku ingin dia tahu bahwa aku bisa
menjalani hidupku saat ini dengan baik. Tapi, itu hanya pikiran semata. Aku
tidak tahu apa yang akan terjadi saat aku bertemu dengannya. Bahkan aku tidak
tahu, sanggup apa tidak bertemu dengannya secara langsung. Semoga saat ini, dia
baik-baik saja. Amin.
~O~O~O~O~O~
TING, TONG
“Da…re…ga…” aku berjalan keluar kamar sambil menggosok-gosok
mataku yang masih terasa lengket setelah bangun tidur, “Masih jam tujuh pagi.
Lagi pula ini hari minggu” ujar ku yang melihat jam dinding di ruang tengah.
TING, TONG
“Nee, chottomatte!” aku berteriak sambil berjalan menuju
pintu depan.
“Dare g-“ ucapan ku terpotong setelah membuka pintu.
“Surprise!” Nakashima, Matsuo dan Watari datang memberiku
kejutan. Mereka menggunakan topi ulang tahun, meniup terompet kecil dan
menyemprotkan potongan-potongan kertas perca kepadaku. Aku baru sadar hari ini
adalah ulang tahun ku.
“Otanjoubi omedetou, Akimoto-kun” Nakashima bodoh itu
memelukku dengan manja. Aku hanya nyengir kuda.
“Otanjoubi omedetou, Takumi-kun” ujar Watari dan Matsuo
bersamaan. Aku tersenyum kecil.
“Arigatou” ucapku sambil tersenyum kepada mereka.
“Nee” jawab Watari sambil tersenyum seperti biasa.
“Jaa, masuklah!” ucapku seraya mempersilahkan mereka masuk.
“Aku dan Tadayoshi pinjam dapur mu, yah? Kami akan
menyiapkan makanan” ujar Matsuou seraya memperlihatkan belanjaannya. Aku
mengangguk kecil kepadanya. Aku melirik Watari yang terdiam di depan jendela
yang mengarah ke balkon itu. Dia memegang kotak kado yang cukup besar di
tangannya. Apa itu untuk ku? Sebesar itu? Aku menghampirinya.
“Ikkho!” aku membuka jendela balkon dan mengajaknya ke
balkon. Watari sempat terdiam. Kemudian, dia mengikuti ku.
“Kore” Watari memberikan kado besar yang di pegangnya
kepadaku. Aku pun mengambilnya.
“Untuk ku?” aku memastikannya.
“Emh. Aku menemukannya di depan pintu apartemenmu” jawab
Watari. Di depan apartemenku? Dari siapa?
Aku pun
membuka kotak kadonya. Aku lepas pitanya dan kubuka tutup kotak kadonya. Di dalamnya terdapat, Sepatu sport, jaket dan
celana trening Olah Raga, dan sepucuk surat di paling bawah. Aku ambil surat
itu dan ku baca.
“Otanjoubi omedetou,
Akimoto-chan. Semoga kau panjang umur, sehat selalu, semakin pintar dan semakin
tampan. Gomen, setelah perceraian itu Okaa-san tidak pernah menemuimu lagi. Okaa-san
takut karena, Otou-san mu tidak menginjinkan Okaa-san untuk menemui lagi. Dia
melarang Okaa-san. Gomene, Okaa-san gagal mengambil hak asuh dirimu. Otou-san
menggunakan kekuasaanya untuk mengambil hak asuh mu. Okaa-san sangat rindu
padamu. Okaa-san ingin sekali melihat mu. Okaa-san ingin sekali memeluk mu.
Okaa-san ingin sekali membelai punggungmu seperti dulu,. Hahaha, tapi sekarang
kau pasti sudah tumbuh besar. Jadi, kau pasti akan menolak Okaa-san membelai
punggungmu. Oh iya, Okaa-san sengaja memberi mu setelan pakaian Olah Raga agar
kamu rajin Olah Raga. Agar kamu selalu sehat, Akimoto-chan. Satu lagi, Okaa-san
saat ini tinggal di India. Okaa-san bekerja di sebuah Rumah Sakit besar di
sana. Ini saja yang ingin Okaa-san sampaikan. Jaga dirimu baik-baik dan jadilah
anak yang sukses, oke? From your mom, Mei Tachibana” tangan ku bergetar setelah membaca surat dari Ibu ku. Ada
sesuatu yang menusuk di hati ku. Sesuatu yang membuat hati ini terasa sakit.
Aku masih terdiam dan tidak bisa berkata-kata. Mata ku terasa panas ingin
menangis. Tapi, aku mencoba menahannya.
“Takumi-kun, daijoubu?” Watari sepertinya menyadarinya. Aku
menatapnya perlahan dan mata ku mendapati anting mutiara berwarna putih yang bercahaya. Bercahaya sama seperti anting
yang di gunakan oleh gadis yang menabrak ku waktu itu di sekolah di acara
festival. Sudah ku duga.
“Watari…” panggil ku seraya meletakkan kepala ku kepundak
kirinya untuk bersandar.
“Eh!” Watari sepertinya terkejut ketika aku menyandarkan
kepalaku ke pundaknya. Tapi, aku tidak menggubrisnya. Watari pun hanya diam
setelahnya.
Terasa
nyaman setelah ku menyandarkan kepala ku kepundaknya. Rasa lega mengalir di
hatiku yang awalnya terasa sakit ini. Aku tersenyum kecil. Semoga pundak ini
bisa selalu memberiku kenyamanan seperti ini.
“Watari?” panggil ku yang masih menyandarkan kepala ku ke
pundaknya.
“Emh?” sahut Watari yang masih terdiam di posisinya.
“Arigatou” ucapku pelan seperti berbisik.
“Emh, douita” jawabnya.
“Eeh, ano…” aku terkejut saaat Matsuo melihat kami berdua.
“Ah!” aku dan Watari sama-sama terkejut. Kami pun langsung
bersikap biasa setelahnya.
“Makanannya sudah siap” Matsuo menatap kami dengan ekspresi
datar. Sial! Lagi-lagi aku kedapatan di situasi yang salah. Aku benar-benar
terbawa suasana tadi.
“Ah, nee!” jawab Watari sebahagia mungkin.
“Chotto!” aku menarik tangan Watari yang hendak masuk ke
dalam itu.
“Ah, nanni?” Watari terkejut sambil menatap tangannya yang
ku pegang itu.
“Jangan bilang ke siapa-siapa soal yang tadi. Cukup kita
berdua saja yang tahu” ucapku dengan tenang kepadanya. Watari menatap ku
sejenak.
“Emh, daijoubu” Watari tersenyum sangat lembut. Bahkan aku
sempat terdiam menatap senyumnya itu.
Aku dan
Watari pun bergabung dengan Matsuo dan Nakashima yang mulai menyantap
makanannya di ruang tengah. Kami merayakan Ulang Tahun dengan sederhana tapi
benar-benar menyenangkan. Untuk pertama kalinya aku dapat tersenyum, tertawa
dan berbagi seperti ini. Ternyata berbagi itu tidak buruk. Malah ini
menyenangkan. Tertawa bersama mereka serperti beban yang ku miliku itu
berterbangan jauh ke langit. Mungkin inilah arti dari berbagi bersama yang di
maksud Watari. Aku pun menatapnya yang tertawa bebas itu. Dia menyadarinya dan
tersenyum menatapku. Aku pun membalasnya tersenyum.
~THE
END~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar